REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pesantren sejatinya merupakan kawasan untuk memeroleh pendidikan, juga tempat berlindung serta pengayom, bahkan berperan sebagai "pengganti” keluarga atau orang tua bagi para santri. Namun, dengan adanya tindak kekerasan di lingkungan belakangan ini membuat nama baik pesantren tercoreng.
Sosiolog sekaligus dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia (FISIP UI), Ida Ruwaida mengungkapkan, setidaknya ada empat faktor utama yang menjadi penyebab terjadinya kekerasan di lingkungan pesantren. Pertama, yaitu kultur atau tradisi pesantren yang paternalistik.
"Budaya atau tradisi pesantren cenderung menempatkan sang kiai atau tokoh sebagai figur sentral, rujukan, atau bahkan role model. Kepatuhan pada kiai menjadi bagian yang ditanamkan sehingga bersikap kritis akan dianggap menyimpang hingga diyakini menjadi sumber dosa," ujar Ida Ruwaida dalam siaran persnya, Jumat (16/9/2022).
Menurut dia, para santri mengedepankan kepatuhan karena muncul keyakinan bahwa sang kiai merupakan “wali Tuhan” di muka bumi. Menurut Ida, cara pandang ini melandasi terbangunnya pola asuh satu arah, berorientasi pada sang tokoh, dan cenderung otoriter.
Faktor kedua adalah adanya anggapan bahwa kekerasan adalah bagian dari media pembelajaran. Ida menjelaskan, sebagian pesantren menggunakan kekerasan sebagai bentuk punishment bagi para santri yang melanggar aturan.
Tujuan penghukuman adalah agar para pelanggar merasa jera. Namun, kata Ida, yang sering terjadi justru punishment lebih dikedepankan daripada unsur pendidikannya. Artinya, hikmah hukuman tidak dipahami santri, termasuk hakikat dan fungsi/manfaat ditegakkannya aturan.
"Dengan kata lain, para santri mengikuti aturan bukan karena menyadari dan menginternalisasi atau menghayati arti penting aturan, melainkan karena takut pada hukuman yang diterima jika melanggarnya," ucap Ida.
Sedangkan faktor ketiga yang memicu terjadinya kekerasan di pesantren adalah dilema antara rasa solidaritas warga pesantren dengan literasi kemanusiaan. Solidaritas sering kali dimaknai sebagai membela atau mendiamkan kawan meskipun salah bersikap dan berperilaku, termasuk pada pelaku kekerasan.
Oleh karena itu, menurut Ida, perlu ada edukasi kepada seluruh multipihak, yaitu pengajar, pendamping, para santri, dan orangtua/wali, bahwa pesantren adalah lembaga pendidikan agama yang melahirkan lulusan yang bukan hanya menjadi ahli agama yang religius, melainkan juga seseorang yang bertoleransi positif, berintegritas, dan humanis.
"Salah satunya ditandai dengan spirit bahwa pesantren merupakan area yang menolak kekerasan, apapun bentuknya," kata Ida.
Kemudian, faktor terakhir pemicu kekerasan di lingkungan pesantren adalah minimnya pemahaman tentang keberagaman. Ida menjelaskan bahwa pesantren bukanlah area yang homogen. Setiap santri memiliki latar belakang sosial ekonomi, wilayah tinggal, watak dan karakter, serta latar budaya yang beragam.
"Mendidik dan mengasuh santri dengan latar belakang berbeda tentu menjadi tantangan tersendiri. Perlu dilihat kembali kedudukan dan peran pesantren sebagai institusi pendidikan yang justru berperan sebagai cross cutting affiliation. Dengan demikian, keberagamaan dan sikap inklusif menjadi bagian dari kehidupan pesantren," jelas Ida.