REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Indonesia Memanggil (IM) 57+ Institute meminta Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tidak berhenti pada penangkapan rektor Unila. KPK dinilai perlu mengembangkan perkara tersebut yang berpotensi mencapai level kementerian.
"Mengingat kritik terhadap KPK pada periode pimpinan ini adalah OTT yang dilakukan pada level bawah dan tidak ada pengembangan atas kasus yang ditangani," kata Ketua IM 57+ Institute, Praswad Nugraha di Jakarta, Ahad (21/8/2022).
Dia mengatakan, pengembangan OTT tersehut diharapkan tidak sekedar hanya menjadi formalitas serta tidak mampu membongkar persoalan yang lebih besar. Praswad menilai, bukan hal baru bahwa adanya isu uang dalam pengusian posisi jabatan strategis disektor pendidikan.
"Bukan mustahil, rektor menjadi memiliki tanggung jawab mencari uang agar terpilih," katanya.
Praswad melanjutkan, reformasi pengelolaan pendidikan juga harus dilakukan segera. Menurutnya, penangkapan ini menunjukan bahwa pemilihan rektor dengan alokasi terbesar suara dari menteri pendidikan tidak menjamin indepedensi lembaga pendidikan.
Menurut Praswad, persoalan rektor dengan isu intergitas bukanlah hal pertama. Dia melanjutkan, kasus rangkap jabatan sampai dengan plagiasi masih menunjukan kentalnya nuansa politik dalam pemilihan rektor alih-alih kepentingan akademis.
"Belum lagi kampus yang justru membatasi kebebasan ekspresi dimana kasus mahasiswa justru direpresi ketika menyampaikan kritik terhadap pemerintah," katanya.
Dia berpendapat, selama ini Firli Bahuri selalu mengatakan pencegahan harus menjadi fokus utama. Akan tetapi, sambung dia, pada kenyataannya kasus ini menunjukan proses pencegahan korupsi pada sektor pendidikan masih bersifat seremonial belaka.
"Perlu dilakukan upaya serius dalam pembenahan sistem pencegahan korupsi sektor pendidikan," katanya.
KPK menangkap rektor Unila, Prof Karomani dan beberapa pihak lainnya dalam operasi tangkap tangan, Sabtu (20/8/2022), dini hari lalu. Sejumlah barang bukti yang diamankan berupa uang dan catatan keuangan.
"Diperoleh juga BB (barang bukti) uang pecahan rupiah dan catatan keuangan yang jumlahnya masih terus dilakukan klarifikasi," kata Plt Juru Bicara KPK, Ali Fikri.