Selasa 12 Jul 2022 17:31 WIB

Desakan Proses Pidana Meski Lili Pintauli Telah Mundur dari KPK

Presiden Jokowi menyatakan hingga hari ini belum menentukan pengganti Lili Pintauli.

Layar yang menampilkan Wakil Ketua KPK Lili Pintauli Siregar saat menjalani sidang dugaan pelanggaran kode etik di Gedung Pusat Edkuasi Antikorupsi (ACLC) KPK, Jakarta, Senin (11/7/2022). Dewas KPK menyatakan sidang dugaan pelanggaran kode etik Wakil Ketua KPK Lili Pintauli Siregar gugur, karena Presiden Joko Widodo telah menyetujui surat pengunduran diri Lili. Republika/Putra M. Akbar
Foto: Republika/Putra M. Akbar
Layar yang menampilkan Wakil Ketua KPK Lili Pintauli Siregar saat menjalani sidang dugaan pelanggaran kode etik di Gedung Pusat Edkuasi Antikorupsi (ACLC) KPK, Jakarta, Senin (11/7/2022). Dewas KPK menyatakan sidang dugaan pelanggaran kode etik Wakil Ketua KPK Lili Pintauli Siregar gugur, karena Presiden Joko Widodo telah menyetujui surat pengunduran diri Lili. Republika/Putra M. Akbar

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Rizkyan Adiyudha, Antara

Masyarakat Antikorupsi Indonesia (MAKI) meminta Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) segera memproses dugaan pelanggaran pidana yang dilakukan Lili Pintauli Siregar. Proses hukum harus tetap dijalankan meski Lili telah mengundurkan diri sebagai pimpinan KPK setelah diduga menerima gratifikasi.

Baca Juga

"Mestinya juga KPK terhadap pimpinan KPK yang diduga melakukan dugaan suap dan gratifikasi harusnya yang menangani KPK dan cepat dan keras," kata Koordinator MAKI, Boyamin Saiman di Jakarta, Selasa (12/7/2022).

Lili dilaporkan ke Dewan Pengawas (Dewas) KPK akibat dugaan penerimaan gratifikasi dari PT Pertamina. Namun, Dewas memutuskan untuk tidak melanjutkan sidang etik terhadap Lili lantaran yang bersangkutan sudah bukan pegawai KPK.

Boyamin mengatakan, proses etik dan pelanggaran pidana Lili merupakan dua hal yang berbeda meskipun ruh dari pelanggaran pidana itu berasa dari pelanggaran etik. Dia menjelaskan, tidak dilanjutkannya sidang etik bukan berarti proses dugaan pelanggaran pidana yang dilakukan Lili harus dihentikan juga.

Boyamin melanjutkan, proses pidana terhadap Lili juga sesuai dengan pasal 36 dalam undang-undang KPK nomor 19 tahun 2019 atau UU revisi KPK. Dia mengutip pasal yang berbunyi barang siapa melakukan kontak langsung dan tidak langsung dengan alasan apa pun diancam hukuman pidana 5 tahun kalau itu pimpinan KPK.

"Jadi itu mestinya diproses lebih lanjut, hukum pidananya tidak gugur dan tidak batal meskipun dia sudah mengundurkan diri atau dewan pengawas kemudian menyatakan tidak menuliskan sidangnya itu hal yang berbeda," katanya.

Boyamin menekankan agar dugaan pelanggaran pidana tersebut juga harus didalami KPK. Menurutnya, KPK merupakan lembaga yang tepat dalam menangani dugaan gratifikasi yang dilakukan Lili ketimbang Kejaksaan Agung atau kepolisian.

Dia berpendapat bahwa, KPK bakal menanggung malu apabila perkara ini diusut oleh aparat penegak hukum lainnya. Dia lantas menyinggung sikap tegas pimpinan KPK terdahulu terhadap bawahan mereka yang melakukan pelanggaran etik atau pidana.

Seperti diketahui, Lili Pintauli Siregar kembali dilaporkan ke Dewas KPK atas dugaan pelanggaran etik. Mantan wakil ketua KPK itu disebut-sebut menerima gratifikasi berupa fasilitas untuk menonton MotoGP Mandalika dari PT Pertamina.

Lili diduga mendapatkan fasilitas menonton MotoGP per tanggal 18 sampai 20 Maret 2022 pada Grandstand Premium Zona A-Red. Mantan wakil ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) itu juga diyakini mendapatkan fasilitas menginap di Amber Lombok Resort pada tanggal 16 Maret sampai 22 Maret 2022.

Dewas kemudian tidak melanjutkan sidang etik terhadap Lili setelah keluar Keppres RI Nomor 71/P/2022 tentang pengunduran dirinya. Keberadaan keppres itu menggugurkan proses persidangan etik untuk Lili.

Indonesia Corruption Watch (ICW) justru meminta agar Dewas KPK tetap melanjutkan sidang pelanggaran etik terhadap Lili. "ICW mendesak agar Dewan Pengawas membatalkan penetapan dan melanjutkan proses sidang etik terhadap Lili Pintauli Siregar dan harus meneruskan bukti-bukti awal yang telah dimiliki kepada aparat penegak hukum jika ada dugaan kuat adanya gratifikasi yang dianggap suap," kata peneliti ICW Kurnia Ramadhana di Jakarta, Senin (11/7/2022).

 

Ada dua alasan yang disampaikan Kurnia terkait desakannya tersebut. Pertama, dugaan pelanggaran yang dilakukan oleh Lili terjadi saat dirinya menjabat sebagai pimpinan KPK. Kedua, Lili tidak kooperatif dan tidak memiliki itikad baik untuk menghormati proses persidangan etik.

Lili diketahui mangkir dari sidang pertama pada 5 Juli 2022 karena mengikuti agenda G20 di Bali. Padahal, agenda tersebut itu dapat dihadiri oleh pimpinan KPK yang lain.

"Pembiaran mangkirnya Lili, tidak terlepas dari sikap Firli yang juga tidak menghormati sidang etik sebab segala penugasan di KPK, didasari pada arahan Ketua KPK," ungkap Kurnia.

Kurnia menilai, pengunduran diri Lili sebagai pimpinan KPK ini tidak dapat serta-merta dianggap sebagai pencapaian yang baik, karena seharusnya Dewas tetap menjalankan sidang etik. Apalagi ada dugaan bahwa Lili sempat berusaha menyuap Dewan Pengawas agar kasusnya tidak dilanjutkan sampai kepada sidang etik.

"Penting diketahui, Dewas menerima tembusan surat permohonan pengunduran diri Lili pada 30 Juni 2022. Meski sudah mengetahui bahwa Lili melayangkan surat pengunduran diri, Dewas tetap menjalankan sidang etik pada 5 Juli 2022," ungkap Kurnia.

Bahkan Keppres 71/P/2022 yang ditandatangani pada 11 Juli 2022, kata Kurnia, juga tidak seharusnya menggugurkan proses sidang etik yang dilakukan oleh Dewas. Apalagi, sidang tersebut secara formal sudah dilakukan pada 5 Juli 2022.

"Hal ini menunjukkan bahwa terlepas dari ada atau tidaknya surat pengunduran diri dari Lili, Dewas telah berketetapan menjalankan sidang pada 5 Juli 2022 dan bahkan sudah memanggil yang bersangkutan secara patut pada 1 Juli 2022. Pertanyaan lebih lanjut, mengapa proses sidang etik Lili berujung antiklimaks?" tambah Kurnia.

 

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement