REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kejaksaan Agung (Kejakgung) mengumumkan angka kerugian negara dalam kasus dugaan korupsi di PT Garuda Indonesia, mencapai Rp 8,819 triliun. Angka kerugian negara dalam kasus tersebut, lebih besar dari taksiran semula, yang menyebutkan di angka Rp 3,6 triliun.
Kepala Pusat Penerangan dan Hukum (Kapuspenkum) Kejakgung, Ketut Sumedana mengungkapkan, angka kerugian negara senilai Rp 8,819 triliun itu, terkait dengan penyimpangan dalam pengadaan pesawat CRJ 1000 sebanyak 18 unit. Dan sewa serta pengambilalihan sejumlah pesawat jenis ATR 72-600.
“Akibat dari perbuatan para tersangka, sehingga menimbulkan kerugian negara sebesar 609,81 juta dolar AS, atau nilai ekuivalen (setara) sebesar Rp 8,819 triliun,” ujar Ketut dalam siaran pers yang diterima wartawan di Jakarta, Rabu (22/6) dini hari.
Dalam kasus ini, tim penyidikan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) sudah merampungkan berkas perkara atas tiga tersangka ke tim penuntutan, untuk segera diajukan ke persidangan.
Tiga tersangka tersebut, yakni Agus Wahyudo (AW) yang ditetapkan tersangka selaku Executive Project Manager Aircraft Delivery di PT Garuda Indonesia 2009-2014. Setijo Awibowo (SA) yang ditetapkan tersangka, selaku Vice President Strategic Management Office PT Garuda Indonesia 2011-2012. Terakhir, Albert Burhan (AB) yang ditetapkan tersangka selaku Vice President Treasury Management PT Garuda Indonesia. Ketiga tersangka tersebut, sudah dalam penahanan.
Ketut menerangkan, dalam berkas perkara AW, SA, dan AB ini disebutkan kasus yang menjerat ketiga tersangka terjadi rentang periode 2011-2021. Disebutkan, kasus tersebut terkait dengan pengadaan 18 unit pesawat Sub 100 Seater tipe jet, berkapasitas 90 seat, dengan jenis bombardier CRJ 1000.
Dalam penyidikan, pengadaan kapal terbang itu, tak dilakukan sesuai perencanaan, dan tak melalui tahap evalusi, juga tak mematuhi prosedur pengelolaan armada (PPA) yang sudah ditetapkan oleh manajemen PT Garuda Indonesia.
Dalam perancanaan, dikatakan tersangka SA, selaku Vice President Strategic Management Office PT Garuda Indonesia, tak melakukan analisa pasar, dan tak melakukan perencanaan rute terbang dari jenis armada pesawat yang dibeli. Tersangka SA, juga dikatakan, tak melakukan laporan analisa tentang kebutuhan jenis pesawat apa yang sesuai dengan model bisnis penerbangan sipil PT Garuda Indonesia.
Dalam pengadaan pesawat CRJ 1000 tersebut, pun menurut berkas penyidikan, dilakukan tanpa persetujuan dari para direksi PT Garuda Indonesia. “Tidak terdapat rekomendasi, dan persetujuan dari BOD (Board of Commisoners),” begitu kata Ketut.
Dikatakan juga, dari hasil penyidikan, inisial ES, dan H, selaku Direktur Utama, dan Direktur Teknik PT Garuda Indonesia, bersama tersangka AW, selaku Executive Project Manager Aircraft Delivery di PT Garuda Indonesia, dan tersangka AB, selaku Vice President Treasury Management PT Garuda Indonesia, dan tersangka SA, melakukan tinjauan dan evaluasi pengadaan secara sepihak. Namun melakukan penunjukan pemenang tender pengadaan CRJ 1000, tanpa melalui keputusan bersama direksi.
Selain pengadaan CRJ 1000, ketiga tersangka tersebut, juga disebut bertanggungjawab atas pengambilalihan sewa pesawat jenis ATR 72-600 yang dianggap merugikan keuangan negara. Pada Januari 2022 lalu, saat kasus ini diumumkan dalam proses penyidikan, Jampidsus Febrie Adriansyah pernah mengungkapkan, nilai kerugian negara dalam korupsi Garuda Indonesia itu, ditaksir lebih dari Rp 3,6 triliun. Namun dalam berkas pelimpahan perkara tiga tersangka, nilai kerugian versi penghitungan BPKP, lebih besar mencapai Rp 8,819 triliun.