REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memeriksa Bendahara Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Mardani H Maming. Plt Juru Bicara KPK, Ali Fikri mengatakan, Mardani Maming diperiksa terkait kasus baru yang saat ini masih di tahap penyelidikan.
"Informasi yang kami peroleh, benar ada permintaan keterangan dan klarifikasi yang bersangkutan (Mardani Maming) oleh tim penyelidik," kata Ali Fikri melalui keterangan, Kamis (2/6/2022).
Meski demikian, Ali enggan memerinci kasus yang tengah didalami penyelidik KPK tersebut. Dia mengatakan, kerahasiaan di tingkat penyelidikan berbeda dengan penyidikan. Ali mengatakan, KPK meminta masyarakat bersabar.
Lembaga antirasuah ini berjanji bakal terbuka jika kasus ini sudah bisa dibeberkan ke publik. "Kami saat ini tidak bisa sampaikan materinya mengingat masih kegiatan penyelidikan," katanya.
Seperti diketahui, Mardani Maming sempat terseret kasus izin usaha pertambangan (IUP) batu bara di Kabupaten Tanah Bumbu, Kalimantan Selatan. Mardani telah hadir sebagai saksi dalam persidangan yang digelar di Pengadilan Tipikor, Banjarmasin, Kalsel, pada Senin (25/4/2022) guna dimintai keterangan soal penerbitan Surat Keputusan (SK) Bupati Tanah Bumbu Nomor 296 Tahun 2011.
SK tersebut sendiri terkait Persetujuan Pelimpahan Izin Usaha Pertambangan Operasi Produksi PT Bangun Karya Pratama Lestari (BKPL) Nomor 545/103/IUP-OP/D.PE/2010 kepada PT Prolindo Cipta Nusantara (PCN).
Dalam persidangan yang digelar, Jumat (13/5/2022), adik dari mantan Direktur Utama PT Prolindo Cipta Nusantara (PCN) almarhum Henry Soetio, Christian Soetio mengungkap, Mardani yang saat itu menjabat bupati Tanah Bumbu menerima uang Rp 89 miliar terkait pengurusan IUP.
Selanjutnya, dalam persidangan pada Senin (23/5/2022), terdakwa kasus dugaan gratifikasi IUP di Kabupaten Tanah Bumbu Raden Dwidjono Putrohadi Sutopo menyebut Mardani H Maming tak ikut menerima gratifikasi. Mantan kepada dinas ESDM Tanah Bumbu itu mengaku Mardani tidak menerima sepeserpun uang gratifikasi izin tambang senilai Rp 27,6 miliar.
"Uang Perusahaan (Rp 27,6 miliar), nggak ada," kata Dwidjono di persidangan, Selasa (24/5/2022).