REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA) menyatakan, prasyarat meraih status opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) bukan perkara mudah bagi instansi bermental korup. Bukannya mengelola keuangan publik dengan baik, pejabat justru memiliki ide untuk mengakali opini dari BPK, seperti kasus operasi tangkap tangan (OTT) Bupati Bogor Ade Yasin oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
"Prasyarat tersebut bukanlah perkara mudah bagi intansi bermental korup, hal ini kemudian memunculkan ide untuk mengakali opini BPK seperti kasus yang terjadi terhadap Bupati Bogor Ade Yasin," ujar Sekretaris Jenderal FITRA Misbah Hasan dalam siaran persnya kepada Republika, Sabtu (30/4/2022).
Dia mengatakan, opini WTP merupakan impian seluruh instansi pemerintah, baik yang berada di pusat maupun daerah. Opini WTP bisa menjadi gambaran dari kinerja akuntabilitas pengelolaan keuangan publik.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara, terdapat empat jenis opini yang diberikan BPK. Empat jenis itu yakni Opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) atau unqualified opinion, Opini Wajar Dengan Pengecualian (WDP) atau qualified opinion, Opini Tidak Wajar atau adversed opinion, serta Pernyataan menolak memberikan opini atau disclaimer of opinion.
Untuk mengejar status WTP, instansi terkait perlu memenuhi kesesuaian dengan standar akuntansi pemerintahan. Selain itu, instansi terkait juga perlu melengkapi kecukupan pengungkapan (adequate disclosures), kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan, dan efektivitas sistem pengendalian intern.
Bupati Bogor Ade Yasin terciduk KPK dalam OTT yang dilakukan pada Selasa (26/4/2022) malam. Ade Yasin diduga melakukan tindak pidana korupsi dengan memberikan suap terhadap jajaran pemeriksa BPK Perwakilan Jawa Barat untuk melakukan audit pemeriksaan interim (pendahuluan) atas Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD) Tahun Anggaran 2021 Pemerintah Kabupaten Bogor guna meraih predikat WTP.
Selain Ade Yasin, menurut FITRA, pernah juga ada kasus serupa yang menimpa Kementerian Desa, PDT dan Transmigrasi pada 2017 silam. Inspektur Jenderal Kementerian Desa didakwa menyuap Auditor Utama Keuangan Negara III BPK dan Kepala Sub Auditorat III Auditorat Keuangan Negara sebesar Rp 240 juta untuk pemberian opini WTP.
Dalam kasus itu pula, KPK mendapati uang sebesar 3.000 dolar AS dan Rp 1,145 miliar di ruangan eselon I BPK. Selain menggambarkan akuntabilitas dalam pengelolaan keuangan publik, status WTP juga bisa menjadi alat untuk memuluskan kepentingan para kepala daerah, salah-satunya untuk mendapatkan Dana Insentif Daerah (DID) dari pemerintah pusat.
Status WTP juga bisa meningkatkan kepercayaan masyarakat atas kepemimpinan kepala daerah. Berdasarkan kasus di atas, agar opini BPK tidak menjadi celah korupsi dan kongkalikong pejabat publik, FITRA menjelaskan dan merekomendasikan beberapa hal.
Misbah mengatakan, opini WTP hanya bersifat administratif dan tidak menjamin bebas dari penyimpangan. Dia mengingatkan masyarakat agar jangan mau dibodohi dengan opini WTP palsu.
"Yang dibutuhkan masyarakat justru akuntabilitas dan efektivitas anggaran yang tepat sasaran. Bisa dirasakan oleh masyarakat miskin dan rentan. Banyak daerah yang mendapat opini WTP tetapi tingkat kemiskinannya masih sangat tinggi, termasuk Kabupaten Bogor," kata dia.
Dia mendorong integritas pejabat BPK diperkuat. BPK harus mulai 'bersih-bersih' terhadap pejabatnya di pusat maupun daerah yang mudah menerima suap atau sengaja meminta suap kepada pemerintah, pemerintah daerah, atau instansi lain yang menjadi objek audit.
BPK perlu memperkuat mekanisme quality control dan quality assurance serta membuka ruang supaya proses audit bisa transparan dan tidak dimonopoli salah satu bagian atau auditor saja. Hal ini diharapkan tidak menimbulkan ruang gelap yang berpotensi menjadi celah korupsi atau suap.
FITRA mendesak KPK untuk mengaudit ulang (audit investigatif) daerah-daerah yang berpotensi melakukan tindakan yang sama dengan pemerintah Kabupaten Bogor. Tak kalah penting, pengawasan masyarakat (audit sosial) terhadap proyek-proyek pemerintah dan pemerintah daerah juga sangat diperlukan.
"Banyak proyek yang tidak jelas kemanfaatannya bagi masyarakat tetapi secara administratif dinyatakan baik," tutur Misbah.