REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Cendikiawan Muslim, Fachry Ali menilai bahwa partai-partai Islam akan kesulitan mengeruk suara untuk pemilihan umum (Pemilu) 2024. Salah satu alasannya karena partai-partai tersebut tak memiliki tokoh karismatik untuk mendulang suara.
"Kita harus membedakan partai yang tidak punya pemimpin karismatik dengan partai punya pemimpin karismatik," ujar Fachry dalam sebuah diskusi daring, Selasa (19/4).
Ia menjelaskan, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) pernah memiliki ketua umum yang karismatik seperti Abdurrahman Wahid atau Gus Dur. Partai Persatuan Pembangunan (PPP) juga pernah memiliki sosok seperti itu, yakni Hamzah Haz.
Adapun saat ini, sosok yang memiliki karisma seperti itu ada di partai-partai nasionalis, seperti Megawati Soekarnoputri di Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) dan Partai Gerindra dengan Prabowo Subianto. Sedangkan, partai-partai Islam telah kehilangan tokoh seperti itu.
"Partai-partai yang tidak tergantung kepada pemimpin puncak atau karismatik, biasanya mengandalkan local leader atau local political lord. Local lord ini yang melalui parpol sebagai tangga menjadi pemimpin nasional," ujar Fachry.
Managing Director Paramadina Public Policy Institute, Ahmad Khoirul Umam menjelaskan bahwa partai Islam selalu tergerus suaranya di setiap pemilu. Untuk Pemilu 2024, partai Islam setidaknya memiliki empat tantangan yang harus diantisipasi.
Pertama adalah ketidakmampuan partai politik Islam mengubah ideologinya menjadi platform politik. Pasalnya, menjadikan agama sebagai ideologi partai politik berarti harus memanfaatkan nilai-nilai fundamental agama untuk mendapatkan popularitas dan dukungan politik.
"Kedua adalah masih adanya faksionalisme, konflik internal dan krisis kepemimpinan di partai politik Islam," ujar Ahmad.
Ia menjelaskan, empat partai politik Islam yang saat ini berada di parlemen telah mengalami konflik internal yang berimbas kepada turunnya perolehan suara. Tak jarang dari mereka justru terbelah, seperti Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dengan Partai Gelora dan Partai Amanat Nasional (PAN) dengan Partai Ummat.
"Tiga, krisis identitas dan kecenderungan pragmatisme politik. Seperti money politics, post truth politics, dan swing voters," ujar Ahmad.
Terakhir adalah sumber daya yang terbatas, khususnya yang terkait dana untuk mengarungi kontestasi nasional yang membutuhkan uang yang besar. Empat hal tersebutlah yang menjadi kendala besar partai-partai Islam di Indonesia untuk menghadapi Pemilu 2024.