Selasa 19 Apr 2022 15:59 WIB

Pemilu 2024, PPP Akui Partai Islam akan Saling Menggerus Suara Satu Sama Lain

Ceruk pemilih partai Islam di Pemilu diperkirakan tidak lebih dari 40 persen.

Rep: Nawir Arsyad Akbar/ Red: Andri Saubani
Sekretaris Fraksi PPP DPR Achmad Baidowi.
Foto: Antara
Sekretaris Fraksi PPP DPR Achmad Baidowi.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sekretaris Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) DPR Achmad Baidowi mengatakan, total suara untuk partai Islam pada pemilihan umum (Pemilu) 2019 sebesar 30,05 persen. Ia mengatakan, jumlah tersebut akan diperebutkan dalam Pemilu 2024.

"Terus terang saja dalam pertarungan politik di setiap pemilu, suara antara di partai Islam itu saling menggerus satu sama lain, saling berebut. Karena ceruknya tidak bakal lebih 40 persen," ujar Baidowi dalam sebuah diskusi daring, Selasa (19/4/2022).

Baca Juga

Ia menjelaskan, suara pemilih Muslim tak akan pernah menyamai jumlah pemilih partai berideologi nasionalis. Bahkan pada Pemilu 1999 yang disebutnya sebagai kejayaan PPP, total jumlah suara partai Islam hanya sebesar 38,8 persen.

"Ini yang ingin saya katakan, memang partai Islam cenderung kompetisi antarsesamanya. PPP dan PDIP itu jelas berbeda irisannya, tidak mungkin orang nasionalis memilih PPP. Begitu sebaliknya santri tidak mungkin memilih PDIP," ujar Baidowi.

PPP, jelas Baidowi, memiliki tiga strategi pemenangan untuk menghadapi Pemilu 2024. Pertama adalah mempertahankan suara pada Pemilu 2019 dan 19 kursi yang ada di DPR.

"Kami kalau ingin bertahan, 19 kursi yang ada di DPR itu harus bertahan. Pemilih lama itu harus bertahan, yang mana kita tahu pemilih tradisional kita semakin berkurang, karena tergerus faktor usia," ujar Baidowi.

Kedua adalah mengambil suara yang pernah PPP miliki. Ia menjelaskan, banyak suara partai berlambang Ka'bah yang diambil partai lain dalam pemilu-pemilu sebelumnya. "(Tiga) Termasuk kita merebut suara yang belum pernah sama sekali memilih PPP," ujar Baidowi.

Managing Director Paramadina Public Policy Institute, Ahmad Khoirul Umam menjelaskan, bahwa akan ada sejumlah hambatan untuk partai politik Islam untuk menghadapi Pemilu 2024. Salah satunya adalah politik identitas yang harus diantisipasi mereka.

Politik identitas, jelas Ahmad, mulai terjadi pasca Pemilu 2014 dan semakin mencuat di pemilihan kepala daerah (Pilkada) DKI Jakarta pada 2017. Permasalahan tersebut semakin menegang dalam pemilihan presiden (Pilpres) 2019.

"Saya tidak melihat pemerintah saat ini di bawah Presiden Joko Widodo melakukan proses netralisasi yang sistematis terhadap dinamika politik identitas. Bahkan seolah politik identitas itu dimaintain sedemikian rupa," ujar Ahmad.

Tak adanya netralisasi terhadap politik identitas dapat menjadi pisau bermata dua bagi partai politik. Satu sisi membuat pemilih Muslim memilih partai Islam, sisi lainnya justru meninggalkan dan memilih partai yang memiliki ideologi nasionalis.

"Tidak ada ruang dialogis yang memadai dalam proses demokrasi kita sehingga di 2024, saya berkeyakinan masih ada kelompok-kelompok tertentu yang mencoba untuk menggunakan narasi politik identitas sebagai alat politik yang efektif dan murah meriah untuk mereka," ujar Ahmad.

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement