Kamis 14 Apr 2022 12:07 WIB

Cerita Pelapor Kasus Ade Armando Sempat Lapor Propam Polri dan Kasus Di-SP3

Ade juga dirugikan sudah lima tahun tersangka kasusnya tak diproses Polda Metro Jaya.

Rep: Achmad Syalaby Ichsan/ Red: Erik Purnama Putra
Pegiat media sosial dan dosen UI Ade Armando.
Foto: Republika/ Wihdan
Pegiat media sosial dan dosen UI Ade Armando.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pelapor kasus yang menjerat Ade Armando, Johan Khan menyampaikan kronologi kasus yang dilaporkannya ke Direktorat Reserse dan Kriminal Umum (Ditreskrimum) Polda Metro Jaya. Johan menyebut, awalnya kasus yang dilaporkannya sempat mandeg. Dia mengaku, bahkan harus membuat laporan ke Divisi Profesi dan Pengamanan (Propam) Polri agar laporannya terhadap Ade diproses penyidik.

Pada 23 Juni 2016, sambung dia, penyidik Polda Metro Jaya akhirnya mulai memeriksa Ade. Karena bukti sudah kuat, kata Johan, Ade pun dijadikan tersangka oleh penyidik Polda Metro Jaya. "Saya ingat tanggalnya 25 Januari 2017," ucap Johan kepada Republika di Jakarta, Kamis (14/4/2022).

Baca Juga

Sebagai tersangka dengan delik Undang-Undang (UU) Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), Ade harus menjalani kembali pemeriksaan di Ditreskrimum Polda Metro Jaya. Hanya saja, Johan kaget setelah mendapat kabar jika penyidik menerbitkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) untuk kasus Ade. Dia mendapat kabar dari penyidik pada 20 Februari 2017.

Tidak terima dengan proses hukum seperti itu, karyawan swasta alumnus Fakultas Hukum Universitad Padjajaran ini pun mendaftarkan gugatan praperadilan terkait SP3 ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel). Johan menilai, keluarnya SP3 kasus Ade sangat janggal. Karena itu, ia memiliki legalitas untuk menggugat keputusan kepolisian itu.

Dalam sidang, sambung dia, hakim memutuskan para ahli yang dirujuk Polda Metro Jaya untuk menerbitkan SP3 dianggap tidak konsekuen. Hal itu lantaran dalam pemeriksaan ulang mereka menetapkan ada unsur pidana dalam cicitan Ade. Namun, pada pemeriksaan selanjutnya mereka justru menangkis pernyataan tersebut dan berpendapat tidak ada unsur penodaan agama oleh Ade.

Menurut Johan, hakim tunggal Aries Bawono Langgeng yang melihat fakta itu memutuskan menerima permohonan praperadilan yang diajukannya pada Senin, 4 September 2017. Alhasil, SP3 itu batal dan status tersangka melekat lagi kepada dosen komunikasi Universitas Indonesia tersebut.

Hanya saja, setelah itu kasusnya tidak pernah lagi disentuh penyidik Polda Metro Jaya. Johan menyampaikan, tidak pernah diperiksa dan mendapat kabar terbaru dari penyidik tentang perkembangan kasus Ade. Dengan begitu, Ade selama lima tahun bisa bebas beraktivitas, meski menyandang status tersangka. "Artinya sekarang sudah lima tahun menjadi tersangka. Ini kan tidak adil bagi kedua pihak. Beliau (Ade Armando) juga dirugikan," ucap Johan.

Sebelumnya, Ade dijerat polisi dengan pasal penistaan agama. Kemudian, seiring berjalannya waktu, tersangka dijerat dengan pasal lain. Kabid Humas Polda Metro Jaya Kombes Raden Prabowo Argo Yuwono pada saat itu, menjelaskan, perubahan pasal tersebut karena penyidik hanya menemukan pelanggaran UU ITE dalam proses penyelidikan, bukan penistaan agama.

"Jadi dari penyidik di dalam melaksanakan kegiatan penyelidikan kita masih menemukan pasal itu (UU ITE) yang kita terapkan," ujar Argo kepada wartawan di Mapolda Metro Jaya, Rabu (25/1/2017).

Kasus itu bermula ketika Ade dilaporkan Johan karena cicitan tersangka melalui media sosial. Tersangka menuliskan status, "Allah kan bukan orang Arab. Tentu Allah senang kalau ayat-ayat-Nya dibaca dengan gaya Minang, Ambon, China, Hiphop, Blues".

Ade membuat status melalui media sosial Facebook dan Twitter dengan akun @adearmando1 pada 20 Mei 2015. Johan melaporkan Ade pada 23 Mei 2015. Johan sempat meminta agar Ade meminta maaf, namun tidak dipenuhi hingga masalah itu berlanjut ke proses hukum.

Baca: Masjid Kampus UGM dan Teori Jarum Suntik Anies, Ganjar, dan Ridwan

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement