REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid menyebut setelah UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual sah, maka selanjutnya diperlukan keselarasan isinya dengan revisi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP).
Usman menyebut UU TPKS belum sempurna. “Meskipun UU TPKS adalah legislasi yang sangat diperlukan, UU ini belum sempurna. Karena itu kami juga mendesak pemerintah dan DPR untuk memastikan pasal-pasal tentang pemerkosaan dalam RKUHP sejalan dengan UU TPKS dan mengutamakan hak-hak korban," ujar Usman dalam keterangan tertulisnya.
Wakil Menteri Hukum dan HAM (Wamenkumham) Edward Omar Sharif Hiariej atau Eddy menjelaskan, pasal terkait pidana perkosaan dan aborsi memang tak masuk dalam UU TPKS. Keduanya akan termaktub dalam RKUHP.
"Pemerkosaan dan persoalan aborsi yang sudah diatur dalam KUHP yang akan disahkan selambat-lambatnya disahkan pada bulan Juni 2022 ini," ujar Eddy.
UU TPKS legislasi pertama terkait kekerasan seksual dalam sejarah Indonesia. UU TPKS mengatur sembilan jenis kekerasan seksual. Mulai dari pelecehan seksual fisik, pelecehan seksual non-fisik, kontrasepsi paksa, sterilisasi paksa, hingga kawin paksa. Lalu penyiksaan seksual, eksploitasi seksual, perbudakan seksual, dan kekerasan seksual berbasis elektronik.
Hanya saja, ihwal pemerkosaan dan pemaksaan aborsi yang pernah masuk dalam draf sebelumnya, dikeluarkan untuk menghindari tumpang tindih dengan RKUHP. Adapun revisi KUHP saat ini masih dibahas oleh DPR.