Senin 04 Apr 2022 19:05 WIB

IDI Dinilai Miliki Kewenangan Tindak Anggota yang Langgar Disiplin Organisasi

Dokter yang berpraktik harus bergabung dengan IDI agar dapat rekomendasi.

Rep: Febrianto Adi Saputro/ Red: Agus raharjo
Ketua Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) Adib Khumaidi (tengah) memberikan paparan saat mengikuti Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) dengan Komisi IX DPR di Jakarta, Senin (4/4/2022). RDPU membahas tentang tugas pokok dan fungsi Ikatan Dokter Indonesia (IDI) sebagai organisasi profesi kedokteran di Indonesia serta masalah pemecatan mantan Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto dari keanggotaan IDI.
Foto: ANTARA/Akbar Nugroho Gumay
Ketua Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) Adib Khumaidi (tengah) memberikan paparan saat mengikuti Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) dengan Komisi IX DPR di Jakarta, Senin (4/4/2022). RDPU membahas tentang tugas pokok dan fungsi Ikatan Dokter Indonesia (IDI) sebagai organisasi profesi kedokteran di Indonesia serta masalah pemecatan mantan Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto dari keanggotaan IDI.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) dan sejumlah pakar menyampaikan tiga isu utama dalam rapat kerja dengan Komisi IX DPR dalam menyikapi pemberhentian dokter Terawan Agus Putranto. Pertama, terkait isu etik. Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (UI), Herkutanto, menilai IDI memiliki kewenangan dalam menindak anggotanya yang melanggar disiplin organisasi.

"Seorang anggota dapat saja diberhentikan bila dianggap melanggar disiplin organisasi. Kalau kita kaitkan dengan IDI kesimpulannya adalah IDI memiliki kewenangan dalam menentukan apakah seseorang melanggar disiplin organisasi dan mengambil tindakan sesuai dengan AD/ART organisasinya," kata Herkutanto saat rapat kerja dengan Komisi IX DPR, Senin (4/4).

Baca Juga

Isu kedua yaitu terkait organisasi IDI dengan keanggotaanya. Herkutanto menyebut seorang anggota IDI dipersilakan keluar dari organisasi. Namun, konsekuensinya dokter tidak bisa melakukan praktik kedokteran. Ia mengatakan, syarat praktik bisa diberikan apabila mendapat rekomendasi dari IDI.

"Bila memiliki kewenangan publik, tentu harus dilihat sumber hukumnya dalam hal ini UU Praktik Kedokteran Pasal 38 ayat 1 huruf C mencantumkan kewenangan IDI memberi rekomendasi untuk dapat berpraktik," ujarnya.

Ia berkesimpulan setiap dokter yang ingin berpraktik harus bergabung dengan IDI agar dapat diberi rekomendasi. Hal tersebut sebagaimana diatur dalam UU Praktik Kedokteran.

Kemudian isu yang ketiga IDI juga menyoroti tentang surat izin praktik (SIP) dokter dan rekomendasi IDI dan surat tanda registrasi (STR). Herkutanto mengatakan setiap dokter yang akan berpraktik harus memiliki SIP dari pemerintah, dengan menyertakan dua syarat lain, yaitu memiliki STR yang diterbitkan oleh konsil kedokteran Indonesia dan rekomendasi IDI.

"Jadi, kesimpulannya adalah IDI memiliki kewenangan publik yang cukup strategis dalam menentukan praktik dokter di Indonesia dan tentunya adalah apabila ada mekanisme pengawasan dilakukan oleh negara maka tentunya akan meningkatkan marwah karena akuntabilitas akan meningkat," katanya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement