REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) mendorong Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) untuk terus melakukan dan menuntaskan penyelidikan terkait dugaan kartel minyak goreng. Pasalnya, sejak awal, YLKI sudah menduga adanya potensi praktik kartel minyak goreng yang membuat harga makin inggi.
"YLKI tentu berharap agar temuan-temuan KPPU segera ditindaklanjuti sesuai kewenangannya," kata Sekretaris YLKI, Agus Suyatno kepada Republika.co.id, Senin (28/3/2022).
Lebih jauh, YLKI berharap agar nantinya KPPU tidak berhenti pada sanksi administrasi. KPPU dapat bekerja sama dengan pihak-pihak terkait merambah lebih jauh persoalan minyak goreng sehingga dapat diketahui pihak yang paling bertanggung jawab dalam persoalan minyak goreng.
"Ini yang kita harapkan sehingga nantinya bisa mengembalikan minyak goreng yang tadinya langkah dan mahal menjadi sesuai dengan harapan masyarakat," ujarnya.
Agus menambahkan, dugaan publik terhadap adanya penimbunan minyak goreng pada saat kelangkaan beberapa waktu lalu juga cukup wajar. Pasalnya, setelah pemerintah melepaskan harga minyak goreng kemasan sesuai harga keekonomian, pasokan minyak goreng, terutama di ritel modern kembali penuh.
YLKI mendorong KPPU menelusuri lebih jauh situasi itu agar dapat diketahui kebenaran dari dugaan penimbunan. "Karena, harga begitu dilepas kok tiba-tiba rak-rak di ritel penuh. Ini harus ditelusuri dan berikan sanksi siapa sebetulnya penimbun minyak goreng ini," kata dia.
Menurut Agus, meskipun pasokan saat ini sudah kembali membanjiri ritel, harga yang diterima masyarakat sangat memberatkan karena tembus hingga Rp 24 ribu per liter. Itu adalah konsekuensi dari kebijakan Kementerian Perdagangan yang malah melepaskan harga ke pasar.
Apalagi, selisih dengan harga minyak goreng curah terpaut Rp 10 ribu karena HET curah hanya Rp 14 ribu. Menurut Agus, disparitas harga yang terlalu lebar itu pun membuat perdagangan minyak goreng jadi tidak sehat.
Sebelumnya, Tim Investigasi Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) menyampaikan telah menemukan satu alat bukti dalam proses penegakan hukum terkait penjualan atau distribusi minyak goreng nasional. "Melalui temuan tersebut, mulai pekan ini, status penegakan hukum telah dapat ditingkatkan pada tahapan penyelidikan," kata Direktur Investigasi KPPU, Gopprera Panggabean.
KPPU tidak menjelaskan lebih perinci mengenai bukti tersebut. Namun, Gopprera mengatakan, alat bukti tersebut yakni berkaitan dengan dugaan pelanggaran terhadap Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.
Khususnya yang berkaitan dengan pasal 5 mengenai penetapan harga, pasal 11 mengenai kartel, dan pasal 19 huruf C mengenai penguasaan pasar melalui pembatasan peredaran barang/jasa.
Sebagaimana diketahui, KPPU telah mulai melakukan proses penegakan hukum sejak 26 Januari 2022 guna menemukan alat bukti adanya dugaan pelanggaran UU Nomor 5 Tahun 199 dalam permasalahan lonjakan harga minyak goreng sejak akhir tahun 2021. Langkah itu sesuai rekomendasi dari kajian yang dilaksanakan KPPU.
Dalam proses awal penegakan hukum, tim investigasi telah mengundang dan meminta data serta keterangan dari sekitar 44 pihak terkait. Khususnya produsen, distributor, asosiasi, pemerintah, perusahaan pengemasan, dan pelaku ritel.
Melalui proses tersebut, ia mengatakan, tim investigasi akhirnya telah menemukan satu alat bukti yang memperkuat adanya dugaan pelanggaran undang-undang. "Proses penyelidikan dilaksanakan dalam jangka waktu paling lama 60 hari kerja dan dapat diperpanjang," kata dia.
Gopprera mengatakan, penyelidikan akan difokuskan pada pemenuhan unsur dugaan pasal yang dilanggar, penetapan identitas Terlapor, dan pencarian minimal satu alat bukti tambahan.
Dalam hal penyelidikan, jika KPPU dapat menyimpulkan dugaan unsur pasal yang dilanggar dan memperoleh minimal dua alat bukti, maka proses penegakan hukum dapat diteruskan ke tahapan Pemeriksaan Pendahuluan oleh Sidang Majelis Komisi.
"Melalui proses Sidang Majelis, KPPU dapat menjatuhkan sanksi administratif berupa denda hingga maksimal 50 persen dari keuntungan yang diperoleh terlapor dari pelanggaran, atau maksimal 10 persen dari penjualan terlapor di pasar bersangkutan," kata dia.