Rabu 23 Mar 2022 16:15 WIB

Satgas Pangan Polri tak Temukan Mafia Minyak Goreng

Satgas Pangan Polri menilai istilah praktik mafia minyak goreng berlebihan.

Pedagang menggoreng ayam jualannya di Pasar Pagotan, Kabupaten Madiun, Jawa Timur, Rabu (23/3/2022). Pedagang tersebut menaikkan harga jual ayam goreng dari Rp4.000 menjadi Rp4.500 per potong akibat melonjaknya harga minyak goreng yang di kawasan pasar tersebut stok minyak goreng dalam sebulan terakhir.
Foto: ANTARA/SISWOWIDODO
Pedagang menggoreng ayam jualannya di Pasar Pagotan, Kabupaten Madiun, Jawa Timur, Rabu (23/3/2022). Pedagang tersebut menaikkan harga jual ayam goreng dari Rp4.000 menjadi Rp4.500 per potong akibat melonjaknya harga minyak goreng yang di kawasan pasar tersebut stok minyak goreng dalam sebulan terakhir.

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Dedy Darmawan Nasution, Nawir Arsyad Akbar

Mafia minyak goreng dituding menjadi salah satu sumber kelangkaan bahan pokok tersebut. Hingga kini Mabes Polri namun tidak menemukan adanya praktik mafia dalam kelangkaan, dan pelambungan harga jual minyak goreng di masyarakat.

Baca Juga

Kepala Satuan Tugas (Satgas) Pangan Bareskrim Polri, Inspektur Jenderal (Irjen) Helmy Santika mengatakan, kelangkaan dan nilai jual tinggi minyak goreng di pasaran saat ini, lebih disebabkan aksi panik konsumen dan penjual yang memborong komoditas tersebut. “Sejauh ini, kita belum temukan praktik mafia minyak goreng,” ujar Helmy, dalam keterangannya kepada wartawan di Jakarta, Rabu (23/3).

Helmy menjelaskan, istilah praktik permafiaan minyak goreng di media terlalu berlebihan. Menurut dia, mafia adalah istilah persekongkolan yang dilakukan sekelompok besar orang, dengan cara-cara terstruktur dan masif, yang melibatkan banyak pihak di semua level, untuk tujuan kejahatan.

Sementara dari penelurusan Satgas, kata Helmy, kelangkaan minyak goreng, dan pelambungan harga tinggi saat ini, bukan karena disebabkan oleh praktik persekongkolan jahat, atau permafian. Melainkan, kata dia, disebabkan karena masifnya para penjual dadakan yang juga berasal dari para konsumen, dan para pedagang, lantaran aksi borong minyak goreng oleh masyarakat konsumen. Aksi borong tersebut, dikatakan Helmy juga membuat para pedagang dadakan, dan pelaku usaha personal, tak mengikuti kebijakan pemerintah.

“Jadi temuan kami sementara ini, jauh lebih kepada personal pelaku usahanya, bukan disebabkan karena adanya praktik-praktik mafia,” kata Helmy. Satgas Pangan, kata Helmy, memang menemukan adanya kelangkaan minyak goreng di pasar-pasar modern. Namun begitu, kata dia, tak ditemukan adanya pelambungan harga. Sementara di pasar tradsional, kata Helmy, Satgas Pangan menemukan rantai distribusi yang panjang, dan membuat harga menjadi tinggi.

Tetapi, dikatakan Helmy, Satgas Pangan meyakini keberadaan stok dalam status aman untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. “Fenomena yang ada saat ini, harga sesuai HET (Harga Eceran Tertinggi). Barang langka di gerai modern, namun pada pasar tradisional stok banyak dengan harga di atas HET. Selain itu, ditemukan penjualan lewat media sosial dengan harga di atas HET,” kata Helmy.  

Temuan sementara dari Satgas Pangan Bareskrim ini seperti mementahkan pernyataan dari Menteri Perdagangan (Mendag) Muhammad Luthfi. Pekan lalu, saat rapat kerja (raker) dengan Komisi VI Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI menyampaikan telah mengantongi sejumlah nama mafia yang membuat minyak goreng langka, dan mahal di pasaran. Bahkan Luthfi mengatakan, akan ada tersangka yang ditetapkan Polri terkait praktik permafiaan minyak goreng tersebut, pada Senin (21/3/2022). Akan tetapi sampai, Rabu (23/3/2022), tak ada satupun tersangka mafia minyak goreng yang diumumkan oleh Polri.   

photo
Infografis Perjalanan Minyak Goreng dari HET hingga Ikuti Mekanisme Pasar - (Republika)

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement