Jumat 04 Mar 2022 09:17 WIB

LGP: Penundaan Pemilu Berpotensi Munculkan Turbulensi Politik 

Penundaan Pemilu 2024 dinilai tidak mempunyai alasan kuat dan inkonstitusional

Ilustrasi Pemilu. Penundaan Pemilu 2024 dinilai tidak mempunyai alasan kuat dan inkonstitusional
Foto: Republika/Raisan Al Farisi
Ilustrasi Pemilu. Penundaan Pemilu 2024 dinilai tidak mempunyai alasan kuat dan inkonstitusional

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA— Usulan beberapa pimpinan parpol yang mendengungkan penundaan Pemilu 2024 dinilai tidak beralasan. Penundaan pesta demokrasi lima tahunan itu justru berpotensi menimbulkan turbulensi, bahkan tsunami politik terhadap pemilihan presiden dan pemilu legislatif. 

Ketua Dewan Pembina Laskar Ganjar-Puan (LGP), H Mochtar Mohamad, dalam keterangan tertulis, Jumat (4/3/2022), Mochtar mengemukakan, usulan penundaan Pemilu muncul karena para politisi itu mungkin merasa parpol yang dipimpinnya terancam bakal tidak lolos parliamentary threshold 4 persen ke Senayan. Parliamentary threshold merupakan syarat minimal perolehan suara parpol untuk diikutkan dalam penentuan kursi di DPR. 

Baca Juga

Sebelumnya diberitakan, Ketua Umum Golkar Airlangga Hartarto, Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar, dan Ketua Umum PAN Zulkifli Hasan memberikan usulan tentang perlunya penundaan Pemilu 2024. Tak elak, usulan itu menjadi polemik, sebab menurut Konstitusi (UUD 1945), Pemilu di Indonesia dilaksanakan lima tahun sekali. 

Sementara itu hasil survei Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) tanggal 8 sampai 10 Februari 2022 yang dirilis 28 Februari 2022 menunjukkan, Airlangga Hartarto/Golkar meraih dukungan 0,6 persen, Muhaimin Iskandar/PKB 0,2 persen, dan Zulkifli Hasan/PAN tidak terbaca (NA). 

Menurut Ketua Dewan Pembina LGP, survei itu memberi pertanda bahwa ketiga ketua umum parpol tersebut sulit diterima rakyat, dan usulan penundaan Pemilu 2024 yang mereka kemukakan kemungkinan di internal partai masing-masing tidak dilakukan melalui mekanisme partai 

Mochtar juga menyatakan, melihat tren terakhir, ketiga parpol itu (Golkar, PKB, dan PAN) terancam bisa tidak lolos parliamentary threshold 4 persen. Maka, dia menyarankan ada baiknya dilakukan fusi (penggabungan) ketiga parpol tersebut seperti yang terjadi pada 1973.      

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement