Rabu 09 Feb 2022 17:21 WIB

Cara-Cara Orde Baru di Desa Wadas

Pola intimidatif kepolisian di Desa Wadas tidak bisa dibenarkan.

Poster propaganda untuk menjual tanah tertempel di Desa Wadas, Purworejo, Jawa Tengah, Rabu (9/2/2022). Diketahui, pada Selasa (8//2/2022) kemaren 63 orang khususnya 56 warga Wadas ditangkap kepolisian. Para warga yang ditangkap adalah mereka yang bersikeras menolak lahannya dibebaskan untuk penambangan batu adesit. Luas tanah yang akan dibebaskan mencapai 124 hektar.Batu andesit yang ditambang dari Desa Wadas ini sedianya akan digunakan sebagai material untuk pembangunan Waduk Bener yang lokasinya masih berada di Kabupaten Purworejo.
Foto: Wihdan Hidayat / Republika
Poster propaganda untuk menjual tanah tertempel di Desa Wadas, Purworejo, Jawa Tengah, Rabu (9/2/2022). Diketahui, pada Selasa (8//2/2022) kemaren 63 orang khususnya 56 warga Wadas ditangkap kepolisian. Para warga yang ditangkap adalah mereka yang bersikeras menolak lahannya dibebaskan untuk penambangan batu adesit. Luas tanah yang akan dibebaskan mencapai 124 hektar.Batu andesit yang ditambang dari Desa Wadas ini sedianya akan digunakan sebagai material untuk pembangunan Waduk Bener yang lokasinya masih berada di Kabupaten Purworejo.

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Haura Hafizhah, Febryan A, Wahyu Suryana

Penangkapan warga Desa Wadas bertolak belakang dengan komitmen Kapolri yang kerap mengutarakan pentingnya pendekatan humanis. Pengamat Kepolisian dari Institut for Security and Strategic Studies (ISeSS) Bambang Rukminto menilai langkah kepolisian di Desa Wadas, Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah, mengingatkan pada cara-cara orde baru.

Baca Juga

"Pendekatan humanis tentunya harus lebih mengedepankan upaya-upaya persuasif dibanding upaya tindakan represif melalui cara-cara intimidatif maupun pemaksaan-pemaksaan. Ini mengingatkan pada cara-cara orde baru dalam melakukan pembangunan Waduk Kedung Ombo yang juga ada di Jawa Tengah 30 tahun silam," katanya saat dihubungi Republika, Rabu (9/2/2022).

Ia melanjutkan apapun alasannya pola-pola intimidatif, represif dan kekerasan tidak bisa dibenarkan. Ini hanya menunjukan arogansi-arogansi kekuasaan yang dilakukan aparat pemerintah maupun aparat penegak hukum.

Penangkapan itu tidak diperlukan bila aparat bisa melakukan upaya persuasif dengan baik dan benar. Bantuan pengamanan oleh aparat kepolisian tentunya dibenarkan oleh UU. Tetapi harus tetap pada koridor dan SOP yang ketat.

"Pertanyaannya, siapa dulu yang memprovokasi warga? apakah sudah ada upaya persuasif lebih dulu? Mengapa harus ada penangkapan-penangkapan warga? Ini yang harus dijelaskan oleh aparat dengan transparan," kata dia.

Menurutnya, Kapolri diperintahkan presiden untuk mengawal dan mengamankan investasi tentunya juga harus dilakukan dengan bijak dengan melihat kondisi sosial masyarakat. "Demikian juga dengan permintaan pengamanan oleh kepala daerah. Harus diingat sesuai UU 2 tahun 2002 kepolisian adalah aparatur negara, bukan sekedar alat pemerintah, dalam melaksanakan kamtibmas dan penegakan hukum. Sebagai aparat negara, tentunya kepolisian juga harus melindungi segenap warga negara, bukan hanya melindungi kepentingan pemerintah saja," kata dia.

Makanya upaya persuasif melalui komunikasi dan dialog yang baik harus lebih dikedepankan daripada penggunaan cara-cara lama melalui kekerasan yang merupakan bentuk fasisme. Dalam konteks kemarin, memang harus ada evaluasi secara menyeluruh untuk aparat-aparat yang melakukan kekerasan.

Pengerahan aparat bersenjata tentunya harus terukur. Seberapa potensi kericuhan, bahaya dan sebagainya ini yang dihadapi adalah rakyat sendiri, mereka bukan kelompok kriminal bersenjata, bukan kelompok teroris, bukan separatis, makanya harusnya tetap terukur.

"Bukan over sehingga malah memprovokasi masyarakat yg sebelumnya damai-damai saja. Sekali lagi, gaya-gaya militeristik yang terkesan fasis dalam upaya menjaga kamtibmas itu harus ditinggalkan. Harus diingat, polisi bukan militer. Yang dihadapi aparat kepolisian adalah warga negara yang mempunyai hak-hak untuk dilindungi. Rakyat adalah bagian negara, bukan musuh yang harus diperangi," kata dia.

LSM Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) mengutuk keras aksi ribuan aparat kepolisian yang merangsek masuk ke Desa Wadas tanpa pemberitahuan. Ribuan personel Kepolisian tersebut bahkan datang dengan membawa peralatan lengkap seperti tameng, senjata, dan anjing polisi.

"Dalihnya, Kepolisian mengawal proses pengukuran lahan yang dilakukan oleh tim pengukuran dari Kantor Pertanahan Purworejo. Aksi Kepolisian di lokasi dibarengi dengan intimidasi dan pengepungan di beberapa titik lokasi rumah warga dan masjid yang sedang digunakan untuk mujahadah," kata Direktur Eksekutif WALHI Yogyakarta, Halik Sandera, dalam keterangan pers.

Halik mengamati ribuan personel Kepolisian memang sudah berkumpul dan melakukan apel di Polres Purworejo sejak Senin (7/2/2022). Lalu pada Senin sore, ribuan personel tersebut mendirikan beberapa tenda di Lapangan Kaliboto yang lokasinya tak jauh dari pintu masuk ke Desa Wadas. Pada Senin malam, hanya Desa Wadas yang mengalami mati lampu dan hilang sinyal.

Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mengutuk tindakan represif aparat kepolisian dan pengukuran paksa tanah warga di Desa Wadas. KPA mendesak Kapolri mengusut insiden yang diwarnai aksi intimidasi, kekerasan, dan penangkapan puluhan warga itu. "KPA mendesak kepada Kapolri untuk segera mengusut tuntas berbagai tindakan pelanggaran yang dilakukan aparat kepolisian di Desa Wadas," kata Sekretaris Jendral KPA, Dewi Kartika, dalam keterangan tertulisnya.

KPA, lanjut Dewi, juga mendesak Kapolri Listyo Sigit Prabowo untuk segera mengevaluasi peran dan keterlibatan aparat kepolisian dalam penanganan konflik agraria. Dewi juga mendesak Kapolda Jawa Tengah untuk segera menginstruksikan seluruh jajarannya agar menghentikan tindakan intimidasi dan kekerasan di lapangan. Kapolda juga diminta segera menarik mundur seluruh aparat kepolisian dari Desa Wadas.

Ia juga mendesak polisi untuk segera membebaskan warga desa yang ditangkap. "KPA mendesak Kapolres Purworejo segera membebaskan seluruh warga dan pendamping yang ditangkap saat mempertahankan hak atas tanah," ujarnya.

Kemarin, aparat kepolisian bertindak represif dan "brutal" di Desa Wadas. Sejak pagi harinya, ribuan aparat kepolisian memasuki desa untuk mengawal proses pengukuran tanah yang dilakukan oleh Kantor Pertanahan Purworejo.

Aparat lantas mencopot berbagai poster yang berisikan penolakan terhadap rencana pertambangan. Mereka juga mengepung dan menangkap warga yang sedang melakukan mujahadah di Masjid yang berada di Dusun Krajan. Aparat lalu mendatangi Ibu-ibu di posko-posko jaga, merampas besek, pisau dan peralatan untuk membuat besek yang merupakan kegiatan wadon Wadas dalam menjaga kebudayaan lokal.

Aparat kepolisian juga merazia telepon genggam dan memasuki rumah-rumah warga tanpa seizin pemilik rumah, diiringi bentakan dan makian. Dalam insiden itu, total aparat menangkap 60 warga desa tanpa prosedur yang jelas.

Dewi menjelaskan, konflik agraria ini berawal dari rencana pembangunan Proyek Strategis Nasional (PSN), yakni Bendungan Bener. Material batu andesit untuk pembangunan bendungan tersebut akan diambil dari bukit di Wadas, dengan area seluas 124 hektare.

Mayoritas warga Desa Wadas menolak rencana penambangan batu andesit itu. Mereka enggan melepaskan tanahnya untuk penambangan.

photo
Aparat Kepolisian berjaga di akses masuk menuju Desa Wadas, Purworejo, Jawa Tengah, Rabu (9/2/2022). Diketahui, pada Selasa (8//2/2022) kemaren 63 orang khususnya 56 warga Wadas ditangkap kepolisian. Para warga yang ditangkap adalah mereka yang bersikeras menolak lahannya dibebaskan untuk penambangan batu adesit. Luas tanah yang akan dibebaskan mencapai 124 hektar.Batu andesit yang ditambang dari Desa Wadas ini sedianya akan digunakan sebagai material untuk pembangunan Waduk Bener yang lokasinya masih berada di Kabupaten Purworejo. - (Wihdan Hidayat / Republika)

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement