Kamis 04 Dec 2025 07:12 WIB

Penambangan Ilegal Rusak 10 Persen Hutan Taman Nasional Gunung Halimun Salak

Aktivitas penambangan emas ilegal di sana sudah terjadi sejak 1990.

Suasana salah satu lokasi tambang emas ilegal di Desa Citorek Kidul, Lebak, Banten, Senin (4/7/2022). Meski pemerintah setempat sudah melarang aktivitas penambangan emas tanta izin di sekitar areal kawasan Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS), tapi masyarakat setempat yang mayoritas berprofesi petani kembali beralih menjadi gurandil atau penambang emas tanpa izin.
Foto: ANTARA/Muhammad Bagus Khoirunas
Suasana salah satu lokasi tambang emas ilegal di Desa Citorek Kidul, Lebak, Banten, Senin (4/7/2022). Meski pemerintah setempat sudah melarang aktivitas penambangan emas tanta izin di sekitar areal kawasan Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS), tapi masyarakat setempat yang mayoritas berprofesi petani kembali beralih menjadi gurandil atau penambang emas tanpa izin.

REPUBLIKA.CO.ID, LEBAK -- Kerusakan hutan konservasi di Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS) yang berada di wilayah Kabupaten Lebak, Bogor dan Sukabumi sekitar 10 persen dari luas 105.072 hektare. Kepala Balai TNGHS Budi Chandra di Lebak, Kamis (4/12/2025), mengatakan berdasarkan perhitungan interin kerusakan hutan konservasi TNGHS sekitar 10 persen dari total 105.072 hektare.

Penyebab kerusakan tersebut akibat maraknya pertambangan emas tanpa izin (PETI) dan kerugian negara masih dalam penghitungan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP). Oleh karena itu, kata Budi, pihaknya sangat mendukung penertiban PETI oleh Satgas Penertiban Kawasan Hutan (PKH) yang melibatkan 10 lembaga kementerian sesuai perintah Presiden Prabowo Subianto.

Baca Juga

"Kita sangat perlu adanya tindakan penertiban kawasan hutan TNGHS agar tidak menimbulkan kerusakan," ujarnya.

Komandan Satgas PKH Mayjen Dody Trywanto mengatakan kerusakan hutan konservasi TNGHS diperkirakan antara 10-15 persen dan yang lebih parah di wilayah Kabupaten Lebak. "Aktivitas PETI ini harus dihentikan karena bisa merusak ekologis lingkungan hutan, juga bisa menimbulkan bencana alam," ujarnya.

Menurut dia, aktivitas PETI di wilayah itu dilakukan sejak tahun 1990 yang merambah dan merusak TNGHS, setelah PT Antam Cikotok tidak beroperasi lagi. "Kita harus bertindak tegas untuk menertibkan PETI agar kembali dipulihkan lingkungan ekologis hutan konservasi TNGHS jangan sampai rusak," katanya.

Sementara itu, Direktur Penindakan Pidana Kehutanan, Rudianto Saragih Napitu mengatakan kegiatan penambang ilegal di TNGHS terdapat sekitar 1.400 lubang tambang yang tersebar di Kabupaten Lebak, Bogor dan Sukabumi dengan kedalaman 20–50 meter, membentuk labirin sepanjang ribuan kilometer. "Saya kira lubang itu bisa menjadi bom waktu potensi bencana alam di sekitar kawasan TNGHS dan dampaknya merugikan masyarakat juga ekosistem lainnya," katanya.

Oleh karena itu, kata dia, pihaknya bersama tim Satgas PKH telah melakukan tiga kali operasi penertiban tambang ilegal sejak akhir Oktober 2025. "Petugas Satgas PKH telah menutup hampir 400 lubang aktivitas penambangan ilegal. Kami targetkan menutup 1.400 lubang penambang ilegal dan dilakukan secara bertahap melalui operasi penertiban itu," katanya.

Kerusakan alam di sana mengancam populasi satwa macan tutul (Panthera pardus), burung elang jawa (Nisaetus bartelsi), dan owa jawa (Hylobates moloch). Satwa macan tutul berdasarkan data Balai TNGHS pada tahun 2015 tercatat sebanyak 58 individu, namun kini belum kembali dilakukan pendataan.

Petugas memasang kamera trap di beberapa lokasi di TNGHS dan masih ada satwa yang dilindungi tersebut, tetapi jumlahnya menurun. Misalnya, untuk burung elang jawa dan owa jawa terlihat satu dan dua kelompok. Begitu juga populasi macan tutul dan owa jawa kondisinya terus semakin berkurang.

TNGHS meminta masyarakat agar menjaga habitat populasi khas satwa endemik TNGHS agar tidak punah. Kerusakan hutan di TNGHS, selain populasi tiga satwa tersebut berkurang juga flora endemik lainnya, seperti anggrek, puspa, saninten, dan rasamala juga terancam langka.

Sebab, tanaman tersebut banyak ditebang oleh penambang ilegal untuk keperluan galian ke dalam tanah. Kerusakan lingkungan ekologis di TNGHS juga berpotensi menimbulkan bencana banjir bandang dan longsor, seperti yang terjadi di Sumatera Utara, Sumatera Barat, dan Aceh.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement

Rekomendasi

Advertisement