REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) menyebut, kasus perbudakan manusia di era modern semakin banyak terjadi. Karena itu, LPSK menekankan bahwa korban perbudakan atau tindak pidana perdagangan orang (TPPO) berhak mendapatkan restitusi alias ganti kerugian dari pelaku.
Wakil Ketua LPSK Antonius PS Wibowo mengatakan, hak restitusi termaktub dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Hak ini juga diatur secara khusus dalam UU Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang.
Antonius mengatakan, LPSK telah melindungi 72 korban TPPO dengan modus dijadikan anak buah kapal (ABK), sepanjang tahun 2021. Selain itu, ada puluhan korban TPPO yang dilindungi terkait 48 kasus pada sektor asisten rumah tangga, buruh pabrik, dan jasa hiburan.
LSPK pun telah menghitung nilai restitusi para korban TPPO tersebut, yakni totalnya Rp 8,2 miliar. Namun, yang masuk dalam tuntutan oleh penuntut umum hanya sekitar Rp 4,8 miliar.
Dari jumlah itu, lanjut dia, majelis hakim hanya mengabulkan restitusi korban dengan total Rp 3,2 miliar. "Sedangkan nilai restitusi yang dibayarkan oleh pelaku (diterima oleh korban) masih jauh dari angka putusan tersebut," kata Antonius dalam keterangannya, Rabu (2/2/2022).
Antonius menambahkan, idealnya jumlah restitusi yang diterima korban sama dengan yang diputus/dikabulkan hakim. Karena belum ideal, LPSK akan terus mensosialisasikan pemahaman di kalangan stakeholder bahwa restitusi merupakan hak korban.
LPSK sebelumnya juga sempat menyinggung hak restitusi bagi puluhan orang yang diduga jadi korban perbudakan di rumah Bupati Langkat nonaktif, Terbit Rencana Perangin-angin.
"Nanti kalau ada tuntutan restitusi dari korban, kita akan lakukan perhitungan," kata Ketua LPSK Hasto Atmojo Suroyo saat konferensi pers temuan tim investigasi LPSK untuk kasus kerangkeng manusia, di Kantor LPSK, Senin.