Selasa 01 Feb 2022 18:02 WIB

BPOM Kaji Kerugian Ekonomi dan Kesehatan Akibat BPA

Kata Rita, ada korelasi peningkatan infertilitas pada kelompok tinggi paparan BPA.

Rep: Antara/ Red: Erik Purnama Putra
Deputi Bidang Pengawasan Pangan Olahan BPOM Rita Endang.
Foto: Dok Bea Cukai
Deputi Bidang Pengawasan Pangan Olahan BPOM Rita Endang.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) menemukan sejumlah kecenderungan yang mengkhawatirkan pada migrasi bahan kimia Bisphenol A (BPA) pada kemasan air minum berbahan polikarbonat bagi kesehatan masyarakat. "Pada uji sampel post-market yang dilakukan 2021-2022 dengan sampel yang diperoleh dari seluruh Indonesia menunjukkan kecenderungan yang mengkhawatirkan," kata Deputi Bidang Pengawasan Pangan Olahan BPOM, Rita Endang melalui keterangan tertulis di Jakarta, Ahad (30/1/2022).

Dia mengatakan, sebanyak 33 persen sampel pada sarana distribusi dan peredaran serta 24 persen sampel berada pada rentang batas migrasi BPA 0,05 miligram per kilogram (mg/kg) yang ditetapkan Otoritas Keamanan Makanan Eropa (EFSA) dan 0,6 mg/kg berdasarkan ketentuan di Indonesia. "Potensi bahaya di sarana distribusi dan peredaran 1,4 kali lebih besar dari sarana produksi," kata Rita.

Baca Juga

Selain itu, kata Rita, terdapat potensi bahaya di sarana distribusi hingga 1,95 kali berdasarkan pengujian terhadap kandungan BPA pada produk AMDK berbahan polikarbonat dari sarana produksi dan distribusi seluruh Indonesia. BPOM juga melakukan kajian paparan BPA dengan hasil menunjukkan bahwa kelompok rentan pada bayi usia 6-11 bulan berisiko 2,4 kali dan anak usia 1-3 tahun berisiko 2,12 kali dibandingkan kelompok dewasa usia 30-64 tahun.

"Kesehatan bayi dan anak merupakan modal paling dasar untuk mewujudkan sumber daya manusia berkualitas dan berdaya saing yang merupakan salah satu tujuan RPJMN 2020-2024," ujar Rita.

Dia menjelaskan, BPOM juga melakukan kajian kerugian ekonomi dari permasalahan kesehatan yang timbul akibat BPA pada air kemasan yang dilakukan bersama pakar perguruan tinggi. Penelitian dengan metode studi epidemiologi deskriptif dilakukan oleh sejumlah pakar ekonomi kesehatan yang menggunakan estimasi berdasarkan prevalence-based untuk mengkaji beban ekonomi.

"Dipilih satu penyakit dengan dukungan banyak publikasi yang ilmiah. BPA merupakan 'endocrine disruptor' (zat kimia yang dapat mengganggu fungsi hormon normal pada manusia) berdasarkan penelitian berkolerasi pada sistem reproduksi pria atau wanita seperti infertilitas (gangguan kesuburan)," katanya.

Berdasarkan hasil studi Cohort di Korea Selatan (Journal of Korean Medical Science) tahun 2021, kata Rita, ada korelasi peningkatan infertilitas pada kelompok tinggi paparan BPA dengan odds ratio atau rasio paparan penyakit mencapai 4,25 kali. Dalam rangka melindungi kesehatan masyarakat untuk jangka panjang, kata Rita, beberapa negara telah mengetatkan standar batas migrasi BPA.

"BPOM belajar dari tren yang berlangsung, dinamika regulasi negara lain, dan mempertimbangkan kesiapan industri pangan serta dampak ekonomi," kata Rita.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement