REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Kejaksaan Agung (Kejakgung) mengaku telah menerima sebanyak 394 laporan dugaan kasus mafia tanah di sejumlah wilayah. Jaksa Agung Muda Bidang Intelijen (Jamintel), Amir Yanto dalam laporannya ke Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin menjelaskan, dari ratusan laporan tersebut, sebanyak 110 kasus sudah dalam penindakan dan proses hukum.
Sedangkan sisanya, 284 kasus, masih dalam telaah sebelum ditindaklanjuti ke proses hukum. Amir mengatakan, daftar laporan tersebut tercatat pada rentang periode 2021 sampai Januari 2022.
“Jadi terkait dengan program pemberantasan mafia tanah, tim kejaksaan sudah bekerja, dan akan melakukan proses hukum terhadap laporan-laporan tersebut,” ujar Amir, di Kejakgung, Jakarta, Kamis (20/1/2022).
Amir menjelaskan, dari ratusan kasus mafia pertanahan tersebut, memiliki persoalan beragam. Ia tak memerinci ragam kasus tersebut. Tetapi, dalam beberapa kasus tersebut, Amir menuturkan, terbukti adanya keterlibatan orang-orang di kejaksaan.
Kasus mafia tanah yang menyeret anggota kejaksaan, kata Amir, seperti yang terjadi dalam pengungkapan di Tapanuli Selatan, Sumatra Utara (Sumut). “Karena diduga ada oknum jaksa yang ikut main disitu. Dan itu sudah kita teruskan ke Jamwas (Jaksa Agung Muda Bidang Pengawasan), untuk menindaklanjuti,” ujar Amir.
Selain kasus mafia tanah yang terjadi di Tapanuli, kata Amir, tim pemberantasan mafia tanah kejaksaan, juga sedang menangani praktik penguasaan tanah ilegal, yang terjadi di Buleleng, Bali. Amir merangkum, beberapa kasus mafia tanah yang saat ini dalam proses penyidikan, ada di tiga tempat. Kasus pertama terkait mafia tanah di Pemerintahan Daerah (Pemda) Kendari, Sulawesi Tenggara (Sultra).
“Dalam kasus ini, sudah ada tiga orang tersangka,” ujar dia. Dan dua kasus yang sedang dalam penyidikan juga di wilayah Sumut, juga di DKI Jakarta.