Selasa 18 Jan 2022 17:40 WIB

Warasman Marbun: Aksi Terdakwa Unlawfull Killing tak Salahi Aturan

Warasman dihadirkan sebagai saksi dari kepolisian yang meringankan dua terdakwa.

Rep: Bambang Noroyono/ Red: Agus raharjo
Suasana sidang kasus unlawfull killling atau pembunuhan Laskar Front Pembela Islam (FPI) dengan Terdakwa yaitu Ipda M Yusmin Ohorella di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Senin (18/10). PN Jaksel mengelar sidang perdana kasus unlawfull killling atau pembunuhan Laskar FPI dengan terdakwa Ipda M Yusmin Ohorella dan Briptu Fikri Ramadhan dengan agenda pembacaan dakwaan.Prayogi/Republika
Foto:

Dalam kasus ini, selain Briptu Fikri, yang melepaskan tembakan juga adalah Ipda Elwira Priyadi, dan Ipda Yusmin yang mengendalikan setir mobil dari Karawang-Bekasi, menuju ke Polda Metro Jaya. Warasman mendalilkan pendapatnya dengan mengutip Peraturan Kapolri (Perkapolri) 8/2009 tentang Penggunaan Senjata Api.

Dalam aturan tersebut dikatakan, petugas kepolisian dapat menggunakan senjata api, dalam situasi luar biasa. “Luar biasa tersebut, adalah situasi yang tidak dapat dihindari. Maka itu, bisa dilakukan pelumpuhan. Dan dalam situasi ini, senjata api sudah direbut, nah itu tidak ada yang keliru,” ujar Warasman.

Akan tetapi, istilah senjata api yang direbut oleh anggota laskar tersebut, diperdebatkan jaksa pada sidang sebelumnya. Pekan lalu, JPU Paris Manalu, sempat mempertanyakan rangkaian kronologis peritiwa penyerangan, dan perebutan senjata api yang diduga dilakukan oleh empat Laskar FPI di dalam mobil kepolisian itu.

Jaksa Paris, menanyakan itu kepada ahli INAFIS Bareskrim Polri, Eko Wahyu Bintoro yang turut dihadirkan ke persidangan, Selasa (4/1). Jaksa Paris menanyakan kepada Eko, tentang apakah rekonstruksi peristiwa KM 50 yang dilakukan kepolisian, adalah rangkaian kronologis peristiwa yang hanya bersumber dari keterangan para terdakwa yakni Briptu Fikri, dan Ipda Yusmin.

Selanjutnya, Jaksa Paris juga menanyakan kepada Eko, apakah dalam rekonstruksi tersebut, peristiwa perebutan senjata api itu, sudah berujung pada penguasaan senjata api dari tangan petugas, ke anggota laskar yang menjadi korban.

Menjawab itu, Eko mengatakan, dari rangkaian rekonstruksi, upaya perebutan senjata api dari tangan Briptu Fikri itu, tak berujung pada penguasaan senjata api oleh empat anggota laskar FPI.

“Jadi terkait foto-foto rekonstruksi tersebut, kami lakukan bersama-sama, berikut dengan keterangan dari tersangka yang melakukan kegiatan (pembunuhan) tersebut,” ujar Eko kepada majelis hakim, Selasa (4/1/2022).

“Dari rekonstruksi itu prosesnya (senjata api) masih dipegang Briptu Fikri,” terang Eko menambahkan.

Pembunuhan enam anggota Laskar FPI, terjadi pada 7 Desember 2020 lalu. Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) menyebut peristiwa itu, sebagai pelanggaran HAM berupa unlawfull killing.

Dalam persidangan kasus tersebut, Jaksa Penuntut Umum (JPU) menjerat dua terdakwa, Briptu Fikri, dan Ipda Yusmin dengan sangkaan Pasal 338 KUH Pidana, juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUH Pidana, dan Pasal 351 ayat (3) KUH Pidana, juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUH Pidana dengan ancaman penjara 7 sampai 15 tahun penjara.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement