Sabtu 13 Aug 2022 15:47 WIB

Pengacara FPI: Kasus Brigadir J dan KM50, Sama Miliki Skenario Palsu

FPI masih meyakini yang terjadi di kasus KM50 adalah peristiwa extra judicial killing

Rep: Amri Amrullah/ Red: Agus raharjo
Kuasa Hukum FPI Aziz Yanuar (kedua kiri) memberikan keterangan kepada wartawan di Mapolda Metro Jaya, Jakarta, Selasa (1/12). Menurut keterangannya, Imam Besar FPI Habib Rizieq Shihab tidak bisa memenuhi panggilan penyidik Polda Metro Jaya terkait kasus kerumunan massa di Petamburan, karena masih dalam masa pemulihan usai dirawat di RS Ummi Bogor. Republika/Putra M. Akbar
Foto: Republika/Putra M. Akbar
Kuasa Hukum FPI Aziz Yanuar (kedua kiri) memberikan keterangan kepada wartawan di Mapolda Metro Jaya, Jakarta, Selasa (1/12). Menurut keterangannya, Imam Besar FPI Habib Rizieq Shihab tidak bisa memenuhi panggilan penyidik Polda Metro Jaya terkait kasus kerumunan massa di Petamburan, karena masih dalam masa pemulihan usai dirawat di RS Ummi Bogor. Republika/Putra M. Akbar

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Bidang Advokasi DPP Front Persaudaraan Islam (FPI) Aziz Yanuar berharap, tim khusus (timsus) kepolisian yang sekarang sedang mengawal kasus Brigadir J, bisa melihat beberapa kasus janggal lain yang sempat ditangani Irjen Ferdy Sambo. Salah satunya, kasus KM50 yang menewaskan laskar Front Pembela Islam.

Menurut dia, kasus KM50 memiliki kejanggalan yang hampir serupa, yang ia yakini ada skenario palsu di dalamnya. "Putusan yang sudah ada itu hanya kasus bohongan, kan peristiwa yang diadili itu skenarionya adalah skenario palsu peristiwa tembak menembak dan petugas yang membela diri. Padahal itu bukan fakta sesungguhnya," ujar Yanuar kepada wartawan, Sabtu (13/8/2022).

Baca Juga

Sampai saat ini pihaknya masih meyakini apa yang terjadi di kasus KM50 itu, adalah peristiwa extra judicial killing, yakni pelanggaran HAM berat. Karena itu seharusnya dilakukan dalam kerangka UU 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan HAM. Tim Penyelidiknya harus Tim Ad Hoc yang melibatkan unsur masyarakat.

"Itu buktinya Komnas HAM baru saja membentuk tim ad hoc untuk menyelidiki kasus Munir. Kasus Munir juga sudah ada putusan pengadilannya," tegas dia.

Dua-duanya, kata Yanuar, yakni kasus Munir dan KM50 adalah pelanggaran HAM berat, secara spesifik adalah extra judicial killing. Ia meyakini motif pembunuhannya adalah motif politik. "Pihak AS saja dalam laporan tahunan HAM, sudah paham bahwa kasus KM50 dan kasus Munir adalah pembunuhan dengan motif politik," katanya.

Pembunuhan dengan motif politik itu, menurut Yanuar, pasti melibatkan relasi pihak yang berkuasa sebagai pelaku dan pihak korban sebagai sasaran pembunuhan. Yanuar menilai, korban dianggap oleh pihak yang berkuasa kritis terhadap kekuasaan yang dipegangnya.

Jadi ada penguasa yang merasa terganggu dengan keberadaan pihak yang selalu mengkritik kekuasaan. Makanya mereka perlu dilumpuhkan dengan cara, baik melalui pemenjaraan seperti kasus Edi Mulyadi, Jumhur Hidayat, Syahganda Nainggolan, Habib Bahar Smith, Habib Rizieq Shihab, dan Munarman.

"Atau bahkan hingga cara ke pembunuhan seperti dalam kasus almarhum Munir, Theis Alluay di Papua, dan KM50," ujarnya.

Yanuar menilai, sangat aneh bila ada pihak yang terus menerus menutup kasus KM50 dengan alasan hanya karena sudah ada putusan pengadilan. Apalagi Komnas HAM juga bisa kembali membentuk tim ad hoc kasus Munir yang juga sudah ada putusan pengadilan. "Dan akan semakin aneh bila Komnas HAM juga menolak menyelidiki kasus KM50, tapi berani membentuk tim penyelidik ad hoc untuk kasus Munir," tegasnya.

Sebelumnya, kasus KM50 menyeret dua anggota Polri yang diduga menembak mati enam anggota FPI. Kasus ini diperiksa Kadiv Propam yang saat itu dijabat Irjen Pol Ferdy Sambo. Namun dalam pemeriksaan dan putusan pengadilan kedua terdakwa tersebut yaitu Briptu Fikri Ramadhan dan Ipda Yusmin divonis bebas, karena dianggap membela diri saat terjadi tembak menembak.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement