Jumat 14 Jan 2022 00:16 WIB

Jampidsus Tetapkan 2 Tersangka Baru Korupsi LPEI

Kedua tersangka mengajukan fasilitas kredit pembiayaan ekspor untuk dua grup usaha.

Rep: Bambang Noroyono/ Red: Ilham Tirta
Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung Leonard Eben Nezer Simanjuntak (kiri).
Foto: Republika/Thoudy Badai
Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung Leonard Eben Nezer Simanjuntak (kiri).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kejaksaan Agung (Kejakgung) menetapkan dua tersangka tambahan dalam penyidikan dugaan korupsi di Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI). Dua tersangka baru adalah Purnomo Sidhi Noor Mohammad (PSNM) dan Djoko Slamet Djamhoer (DSD).

Dalam penyidikan dugaan korupsi yang merugikan keuangan negara setotal Rp 2,6 triliun tersebut, Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) sudah menetapkan total sebanyak tujuh orang tersangka. “Hari ini menetapkan dua orang tersangka. Yakni, PSNM dan DSD,” ujar Kepala Pusat Penerangan dan Hukum (Kapuspenkum) Kejakgung, Leonard Ebenezer Simanjuntak di Gedung Pidana Khusus Kejakgung, Jakarta, Kamis (13/1/2022).

Baca Juga

Ebenezer menerangkan, PSNM ditetapkan tersangka selaku mantan Relationship Manager LPEI 2010-2014 yang juga eks Kepala Departemen Pembiayaan UKM LPEI 2014-2018. Sedangkan DSD, ditetapkan tersangka selaku mantan kepala Divisi Analisa Risiko Bisnis II LPEI 2015-2019.

“Terhadap kedua tersangka dilakukan penahanan di Rutan Salemba cabang Kejaksaan Agung,” kata Ebenezer. Penahanan dilakukan selama 20 hari sejak penetapan tersangka.

Dalam kasus itu, PSNM dan DSD mengusulkan, menganalisa, dan mengajukan pemberian fasilitas kredit pembiayaan ekspor terhadap dua grup usaha penerima pembiayaan. “Keduanya adalah pihak dalam pengajuan kredit pembiayaan ekspor kepada Grup Walet dan Grup Johan Darsono (JD). Total pembiayaan kredit yang diberikan kepada dua grup tersebut Rp 4,7 triliun sepanjang pembukuan 2013-2019," kata dia.

Sebelum penetapan dua tersangka ini, pada Kamis (6/1), Jampidsus menetapkan lima tersangka. Para tersangka tersebut yakni Josef Agus Susanta (JAS), Suyono (S), Arif Setiawan (AS), Ferry Sjaifullah (FS), dan Johan Darsono (JD).

AS adalah Direktur Pelaksana IV dan Komite Kelayakan LPEI 2016, FS selaku Kepala Divisi Pembiyaan UKM LPEI 2015-2018, JAS selaku Kepala Kantor Wilayah (Kakanwil) LPEI Surakarta 2016, S selaku Direktur PT Mount Dreams Indonesia (MDI). Sedangkan JD, ditetapkan tersangka selaku Direktur PT Jasa Mulia Indonesia (JMI), PT Mulia Walet Indonesia (MWI), dan PT Borneo Walet Indonesia (BWI).

Kelimanya pun sudah ditahan terpisah di Rutan Kejakgung dan di Rutan Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan. Para tersangka dijerat dengan Pasal 2 UU Tipikor 31/1999-20/2001 juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUH Pidana. Penyidik juga menebalkan sangkaan Pasal 3 UU Tipikor juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUH Pidana.  

Kasus ini berawal dari masalah LPEI yang memberikan pembiayaan kepada para debitur untuk penyelanggaran ekspor nasional kurun pembukuan 2013-2019. Para debitur tersebut, yakni delapan grup usaha yang terdiri dari 27 unit perusahaan swasta. Pada Grup Walet, nilai pembiyaan dari LPEI setotal Rp 576 miliar.

Pembiyaan tersebut diberikan kepada CV Mulia Walet Indonesia senilai Rp 90 miliar. Lalu pembiyaan tersebut diambil alih oleh PT Mulia Walet Indonesia dengan pembekakan pembiyaan mencapai Rp 175 miliar. Dari Grup Walet juga, PT Jasa Mulia Indonesia memperoleh pembiyaan Rp 276 miliar. Sedangkan pembiyaan kepada PT Borneo Walet Indonesia senilai Rp 125 miliar.

Adapun kepada Grup Johan Darsono, fasilitas pembiyaan ekspor nasional diberikan senilai total Rp 2,1 triliun. Pembiyaan diberikan kepada 12 perusahaan. PT Kemilau Kemas Timur mendapatkan Rp 200 miliar, CV Abaya Giri Timur Rp 15 miliar, CV Multi Mandala Rp 15 miliar, CV Prima Garuda Rp 15 miliar, CV Inti Makmur Rp 15 miliar.

Kemudian, PT Permata Sinita Kemasindo senilai Rp 200 miliar, PT Summit Papper Indonesia mendapatkan Rp 199,6 miliar, PT Elite Paper Indonesia Rp 200 miliar, PT Everbliss Packaging Indonesia Rp 200 miliar, PT Mount Dream Indonesia Rp 645 miliar, PT Gunung Geliat 30 juta dolar AS atau setara Rp 345 miliar, dan PT Kertas Basuki Rahmat menerima 45 juta dolar AS atau Rp 460 miliar.

Namun, dari semua pemberian fasilitas pembiayaan tersebut, sejak prosesnya sudah cacat prosedur. “Pemberian pembiayaan ekspor nasional oleh LPEI kepada para debitur tersebut dilakukan tanpa melalui prinsip tata kelola perusahaan yang baik, dan tidak sesuai dengan aturan kebijakan di LPEI, sehingga berdampak pada kerugian negara,” kata Ebenezer.  

Pemberian pembiyaan tersebut pun berdampak pada peningkatan nilai kredit macet pengembalian dari para debitur ke kas LPEI. Sehingga pada laporan pembukuan LPEI 2019, menunjukkan angka kredit macet senilai 4,7 triliun tahun berjalan.

“Dari perhitungan sementara oleh penyidik terkait kasus ini, kerugian negara kurang lebih Rp 2,6 triliun,” terang Ebenezer.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement