Rabu 05 Jan 2022 16:46 WIB

Refleksi Tahun 2021 Maarif Institute Soroti  Kebebasan Beragama dan Toleransi

Relfeksi akhir tahun 2021 itu juga menyoroti  kekerasan terhadap perempuan.

Maarif Institute menyelenggarakan webinar dengan judul Refleksi Akhir Tahun 2021: Tentang Kebebasan Beragama, Toleransi dan Kekerasan Terhadap Perempuan di Indonesia,  Jumat (31/12).
Foto: Dok Maarif Institute
Maarif Institute menyelenggarakan webinar dengan judul Refleksi Akhir Tahun 2021: Tentang Kebebasan Beragama, Toleransi dan Kekerasan Terhadap Perempuan di Indonesia, Jumat (31/12).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Maarif Institute menyelenggarakan webinar dengan judul “Refleksi Akhir Tahun 2021: Tentang Kebebasan Beragama, Toleransi dan Kekerasan Terhadap Perempuan di Indonesia”. Kegiatan webinar yang bertujuan untuk merefleksikan isu-isu aktual sekitar kebebasan beragama, toleransi, dan kekerasan seksual di tahun 2021 ini dilaksanakan pada  Jumat (31/12).

Berbagai narasumber hadir untuk memberikan perspektif sekaligus refleksi terhadap fenomena-fenomena yang terjadi di tahun 2021. Mulai dari Prof  Alimatul Qibtiyah  PhD (Guru Besar Kajian Gender Fakultas Dakwah Komunikasi UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta), Yulianti Muthmainah (ketua PSIPP ITB AD Jakarta), Muhammad Isnur (Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia), Usman Hamid  SH Mphil  (Yayasan Amnesty Internasional Indonesia), Halili Hasan (direktur Setara  Institute), dan Prof  Dr Musdah Mulia (penulis buku Ensiklopedia Muslimah Reformis). 

Acara webinar refleksi yang dimoderatori Moh  Shofan (Direktur Program Maarif  Institute) ini diawali dengan pengantar dari Abd Rohim Ghazali, direktur eksekutif Maarif  Institute. “Refleksi ini merupakan introspeksi kita. Kenapa? karena Indonesia adalah kita. Jadi apapun yang terjadi baik-buruknya ataupun hitam-putih yang terjadi di Indonesia ini adalah mencerminkan bagian dari Indonesia. Jadi, kita tidak akan menimpakan kesalahan kepada siapapun atau orang lain, karena pada dasarnya saat kita menunjuk seseorang dengan empat jari yang lain, sesungguhnya menunjuk diri kita sendiri,”  jelas Rohim seperti dikutip dalam rilis yang diterima Republika.co.id, Rabu (5/1).

Sedangkan, Alimatul memaparkan berbagai data-data yang dipresentasikan untuk merefleksikan kasus-kasus isu kekerasan terhadap perempuan untuk refleksi. “Kekerasan terhadap perempuan naik hampir dua kali lipat dari tahun 2020. Hal ini dikarenakan kesadaran untuk speak up meningkat dan realitas kasus yang ada memang membanyak.” papar Alimatul.

Terlebih dari itu, Yulianti menyetujui pemaparan data yang telah dipresentasikan oleh Alimatul. Yulianti menambahkan bahwa “pada awal masa Covid-19, seruan-seruan untuk memakai masker memang ditujukan sebagai bagian dari tindakan preventif. Di sisi lain, jika hal ini dikaitkan dengan isu perempuan dan kebebasan beragama, ada pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab seolah-olah membuat tembok besar untuk diproyeksan sebagai pembandingan bahwa sejatinya perempuan itu memakai cadar. Toh, masker juga menyelamatkan dari Covid-19. Jadi narasi tersebut disengaja untuk dibenturkan, dan lagi-lagi yang paling mudah dilihat soal identitas adalah tubuh perempuan. Sehingga seolah-olah perempuan yang bercadar adalah orang yang berIslam paling kaffah.” 

Selajutnya pada refleksi isu kebebasan beragama dan berkeyakinan, Halili menyatakan bahwa “kebebasan beragama dan berkeyakinan berkaitan dengan demokrasi kita.”  “Pelanggaran Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (KBB) terus terjadi, in line (sejalan) dengan regresi demokrasi,” ujar Halili.

Selain itu, Usman berpendapat untuk merefleksikan tahun 2021 sebagai fenomena di mana penyelamatan kehidupan manusia dari wabah Covid-19 memuluskan bagi sejumlah negara untuk memanfaatkan alasan pandemi dalam membatasi dan mengekang kebebasan, termasuk dalam hal ini adalah kebebasan beribadah. “Karena mereka (pemerintah) berusaha menahan persebaran virus di dalam maupun di luar perbatasan di wilayah mereka, pemerintah kemudian merasa perlu untuk melakukan pembatasan dalam hal kebebasan bergerak,”  ungkap Usman.  

Lebih lanjut, Isnur menyoroti insiden ketika presiden datang untuk membuka mal di Bekasi. “Itu kan simbol yang sangat buruk, bagaimana kegiatan di rumah ibadah dibatasi dan masyarakat  tetap didorong untuk  menjalankan ibadah  secara daring. Akan tetapi di sisi lain, para pengusaha dan pemerintah tidak memberikan simbol yang baik. Jadi inkonsistensi  terus terhadap kebijakannya. Jadi wajar, kalau warga bersikap untuk menyatakan tidak beres dengan kondisi ini. Pada akhirnya ada perlawanan (resistance) di situ,” jelas Isnur.

Terakhir, Musdah menyatakan secara tegas bahwa temuan-temuan indeks demokrasi dari tahun 2007 sampai tahun 2020 mengalami penurunan drastis. “Terutama jika kita berbicara demokrasi dan pemerataan, pemerintah itu sungguh-sungguh melakukan pengkhianatan terhadap konstitusi negara kita. Karena di dalam indeks demokrasi itu terlihat betul ya pemerintah tidak melakukan upaya-upaya yang signifikan  dalam pemenuhan hak-hak asasi manusia yang merupakan bagian penting dari penegakan demokrasi,”  tegas Musdah. 

Refleksi ini diyakini sebagai upaya untuk mencerminkan masalah apa yang sudah terjadi di tahun lalu dan kemudian untuk memperbaiki keadaan dan introspeksi terkait isu-isu kebebasan beragama, toleransi, dan isu perempuan. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement