Kamis 16 Dec 2021 15:46 WIB

RS Polri Siap Jadi Eksekutor Kebiri Kimia, Amnesty International tak Setuju

Amnesty International tanggapi kesiapan RS Polri jadi eksekutor kebiri kimia

Rep: Rr Laeny Sulistyawati  / Red: Bayu Hermawan
Direktur Amnesty International Indonesia - Usman Hamid
Foto: Republika/Wihdan Hidayat
Direktur Amnesty International Indonesia - Usman Hamid

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Amnesty International Indonesia angkat bicara mengenai kesediaan rumah sakit (RS) Polri, Jakarta Timur, menjadi eksekutor kebiri kimia untuk pelaku kekerasan seksual. Menurut Amnesty International Indonesia, kebiri kimia melanggar larangan penyiksaan.

Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid mengakui, kekerasan seksual terhadap anak adalah kejahatan yang mengerikan. "Namun, kebiri kimia paksa melanggar larangan mutlak penyiksaan, perlakuan atau hukuman yang kejam, tidak manusiawi, dan merendahkan martabat di bawah hukum hak asasi manusia internasional," ujarnya saat dihubungi Republika.co.id, Kamis (16/12).

Baca Juga

Sehingga, pihaknya menilai menghukum pelaku dengan kebiri kimia hanya memperparah kekejaman. Selain itu, dia melanjutkan, tidak ada bukti bahwa ancaman kebiri kimia efektif untuk mencegah tindak kekerasan seksual terhadap anak. 

Oleh karena itu, Amnesty International Indonesia mendesak pemerintah untuk mencabut amendemen undang-undang yang mengizinkan kebiri kimia. Pemerintah lebih baik fokus membuat aturan hukum yang melindungi korban dari segala bentuk kekerasan seksual. Terkait hukuman yang tepat untuk pelaku, Amnesty International Indonesia mengusulkan dihukum seumur hidup, 20 tahun, dan seterusnya.

"Tergantung perbuatan," katanya.

Sebelumnya, tim dokter Rumah Sakit (RS) Polri Sukanto bisa menjadi pelaksana eksekusi suntik kebiri terhadap terpidana pelaku kejahatan seksual dan asusila. Kepala RS Polri, Brigjen Asep Hendradana, mengatakan tim dokternya, tak cuma terikat dengan sumpah profesi sebagai dokter medis dan kesehatan, namun juga, terikat dengan sumpahnya sebagai anggota kepolisian, selaku pelaksana undang-undang (UU).

"RS Polri tetap mengacu pada sumpahnya sebagai anggota (Polri) dan undang-undang sebagai perintah yang tertinggi," ujar Asep saat dihubungi Republika.co.id dari Jakarta pada Rabu (15/12). 

Asep mengatakan, tim dokter di RS Polri terbagi menjadi beberapa kategori. Dokter yang berasal dari anggota Polri dan tenaga medis dari pegawai negeri sipil (PNS) Polri. Mereka yang berprofesi sebagai dokter di RS Polri, tapi dari kalangan sipil, pun juga terikat sumpah Korps Bhayangkara.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement