Jumat 10 Dec 2021 18:04 WIB

Kasus Perkosaan Santri Munculkan Kembali Desakan Hukum Kebiri

Hukum kebiri di Indonesia belum berlaku karena belum ada kesepakatan eksekutor.

Negara memiliki kewajiban melindungi seluruh warganya, termasuk pelajar dan santri perempuan. Kasus pemerkosaan terhadap belasan santri di Bandung, Jabar, yang dilakukan gurunya sendiri membuat wacana hukuman kebiri bagi pelaku kejahatan seksual kembali mengemuka.
Foto: Republika
Negara memiliki kewajiban melindungi seluruh warganya, termasuk pelajar dan santri perempuan. Kasus pemerkosaan terhadap belasan santri di Bandung, Jabar, yang dilakukan gurunya sendiri membuat wacana hukuman kebiri bagi pelaku kejahatan seksual kembali mengemuka.

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Rr Laeny Sulistyawati, Haura Hafizhah, Nawir Arsyad Akbar, Antara

Perkosaan yang dilakukan guru pesantren terhadap 12 santriwatinya menuai amarah publik. Desakan untuk memberlakukan hukuman kebiri ke pelaku pemerkosaan dan kekerasan seksual pun kembali mencuat.

Baca Juga

Ketua Perhimpunan Dokter Spesialis Andrologi Indonesia (Persandi) Wimpie Pangkahila menjelaskan, sebenarnya undang-undang mengenai kebiri kimia sudah ada, tinggal aturan pelaksanaannya. "Setelah dihukum penjara, dikenakan hukuman kebiri kimia. Tujuannya menghilangkan gairah seks dan kemampuan ereksinya, tetapi tentu ada efek samping lainnya," ujarnya saat dihubungi Republika, Jumat (10/12).

Ia menyebutkan, efek samping kebiri kimia di antaranya bisa bertambah gemuk, otot berkurang, tulang keropos, anemia, perasaan labil, cemas, hingga daya ingat terganggu. Terkait lama dampak, ia menambahkan, dampaknya tergantung berapa lama kebiri kimia diberikan.

Saat ini, katanya, sudah ada beberapa negara yang memberlakukan hukuman itu. Negara tersebut di antaranya Pakistan, Cekoslovakia, Amerika Serikat (AS), Ukraina, Nigeria, hingga Korea Selatan. "Bahkan Ceko telah memberlakukan operasi," kata pria yang juga menjabat sebagai Ketua Asosiasi Seksologi Indonesia (ASI) tersebut.

Meski sudah pernah dikemukakan sampai sekarang Indonesia belum menerapkan hukuman kebiri bagi pelaku kejahatan seksual. "Eksekusi hukum kebiri kimia di Indonesia belum pernah dilakukan. Pihak IDI dengan pemerintah atau eksekutor belum ada kesamaan pendapat tentang siapa eksekutornya," ujar Anggota Dewan Pakar Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) Danardi Sosrosumihardjo.

Danardi mengatakan, bila dokter diminta sebagai eksekutor, maka tindakannya itu akan bertentangan dengan etika dan sumpah dokter. Setiap dokter disumpah harus bertindak untuk sesuatu yang bermanfaat bagi kesehatan pasiennya. Ia menambahkan, dalam sumpah dokter dikatakan bahwa dokter akan menghormati setiap hidup insani sejak pembuahan. "Sedangkan tindakan hukuman kebiri kimia adalah bersifat merusak," katanya.

Merusak dalam hal ini, dia melanjutkan, ketika kebiri membuat pria akan diinjeksi zat tertentu sehingga kadar testosteronnya menurun. Akibatnya, nafsu birahinya menurun hingga diharapkan keinginan seksual hilang. Efek sampingnya alat kelaminnya tak bisa ereksi.

Terkait kemungkinan pelaku kekerasan seksual yang bisa juga mengalami depresi, pria yang berprofesi sebagai dokter spesialis kejiwaan atau psikiatrer itu mengatakan ada dua kemungkinan. "Bisa ya, tapi bisa juga tidak. Banyak penyebab timbulnya gangguan depresi," ujarnya.

Kendati demikian, dia menegaskan, efek kebiri kimia ini tidaklah permanen. Semua itu bergantung pada berapa lama dihukum. Misalnya jika dihukum tiga tahun maka selama tiga tahun akan mendapat suntikan secara reguler agar kadar testosteronnya rendah. Setelah itu bisa pulih kembali.

Wakil Ketua Majelis Syuro Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Hidayat Nur Wahid mengatakan bahwa kasus kekerasan seksual yang kian mencuat bukti hukuman kurang berat bagi pelaku. Hal inilah yang membuat banyak pelaku kekerasan seksual tak jera dengan hukuman yang ada saat ini. Ia mendukung adanya hukuman kebiri, bahkan hingga hukuman mati bagi pelaku pemerkosaan.

"Ini masalah memang sudah darurat. Kalau menurut saya pemberatan itu bukan hanya dengan kebiri, tapi juga sampai hukuman mati," ujar Hidayat.

Menurutnya, kedua hukuman tersebut dapat dikenakan kepada para pelaku kekerasan seksual, terutama pemerkosaan. Hal tersebut diatur dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016 tentang Penetapan Perppu Nomor 1 Tahun 2016 tentang perubahan kedua atas UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.

"Bila itu seandainya itu bisa diberikan hukuman mati, kenapa tidak bagi mereka yang melakukan kejahatan kepada perempuan yang melakukan pemerkosaan, kejahatan seksual. Apalah dalam kondisi semacam ini, menurut saya hukuman maksimal itu bisa diterapkan," ujar Hidayat.

Dalam Undang-Undang Dasar 1945, negara harus melakukan perlindungan kepada warga negaranya. Termasuk diberi kewenangan termasuk membuat perppu tentang kebiri, yang sebelumnya ditolak oleh Ikatan Dokter Indonesia IDI. "Perppu sudah dibuat dan tentu harapannya adalah rekan-rekan dari IDI memahami bahwa ini masalah memang sudah ya menyebutnya si bisa jadi darurat," ujar anggota Komisi VIII DPR itu.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement