REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakil Ketua Komisi III DPR RI, Pangeran Khairul Saleh, menanggapi usulan sejumlah pihak terkait penerapan hukuman kebiri terhadap oknum guru Herry Wirawan yang memperkosa 21 santriwati di Cibiru, Bandung. Menurutnya, Herry pantas dihukum kebiri.
"Saya setuju bahwa hukuman berat untuk kejahatan luar biasa asusila itu tidak saja berupa hukuman penjara 20 tahun, tetapi perlu diberlakukan hukuman tambahan yaitu hukuman kebiri," kata Khairul kepada Republika, Senin (13/12).
Menurutnya, peluang diberlakukannya hukuman tambahan dengan hukuman kebiri itu bukanlah satu tindakan hukum yang bisa dinilai berlebihan. Tetapi mengacu pada pedoman hukuman sesuai Undang-Undang (UU) Nomor 17 Tahun 2016 tentang Perlindungan Anak.
"Artinya hukuman tambahan kebiri itu wajib dinilai sebagai vonis berkeadilan menyangkut profesi si pelaku kejahatan keji tersebut adalah seorang guru yang mestinya menjaga martabat profesinya serta menjaga anak didiknya demi masa depannya," ujarnya.
Politikus PAN itu menambahkan, hukuman kebiri bukanlah hukuman yang mengada-ada. Sebab, sebelumnya Presiden Joko Widodo telah menyetujui hukuman kebiri sebagai hukuman yang diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 70 Tahun 2020 tentang Tata Cara Pelaksanaan Tindakan Kebiri Kimia, Pemasangan Alat Pendeteksi Elektronik, Rehabilitasi dan Pengumuman Identitas Pelaku Kekerasan Seksual terhadap Anak Beleid, pada Desember 2020 lalu.
"Hukuman kebiri untuk tindak kejahatan yang dilakukan Herry Wirawan yang memperkosa 12 santriwati di pondok pesantrennya, hingga 8 orang di antaranya hamil, menurut saya bukan saja karena pantas diberlakukan kepadanya, tetapi lebih dari itu adalah memberi efek jera demi untuk menyelamatkan anak didik dari predator seks," tuturnya.
Pangeran menjelaskan, adapun prosedur eksekusi hukuman kebiri serupa dengan hukuman mati terhadap terpidana narkoba, di mana kejaksaan bertindak sebagai eksekutornya dengan melibatkan kepolisian. Ia mengungkapkan ada UU dan Perkapolri yang mengatur itu.
"Tetapi tentunya, hukuman kebiri itu mesti juga melibatkan lembaga terkait seperti kemenkes, karena prosedur hukuman kebiri yang telah dilegalkan itu menggunakan alat dan bahan kimiawi," jelasnya.
Anggota Komisi III DPR RI, Arsul Sani, juga menjelaskan, hukum positif di Indonesia sudah mengatur tentang hukuman kebiri. Arsul menegaskan, dirinya mendukung keputusan hakim jika nantinya proses hukumnya memutuskan tindakan kebiri sebagai bagian dari hukuman pidana.
Dirinya juga menjelaskan, secara hukum acara pidana maka eksekutor putusan perkara pidana itu di jajaran Kejaksaan. Namun, sebagai eksekutor putusan pidana maka kejaksaan bisa meminta bantuan instansi terkait.
"Kan selama ini begitu. Lihat saja dalam eksekusi pidana mati, maka ya eksekutornya ya jaksa tapi pelaksanaan dilakukan oleh regu tembak dari Polri, karena tidak mungkin jajaran kejaksaan yang melaksanakan penembakannya,"
"Demikian juga dalam soal tindakan pengebirian dalam kasus perkosaan atau kekerasaan seksual maka kejaksaan bisa bekerja sama dan dibantu tim dokter Polri jika kejaksaan tidak memiliki tim dokter sendiri," imbuhnya.
Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Retno Listyarti, menilai oknum guru pelaku rudapaksa terhadap 21 santriwati di Cibiru, Bandung memenuhi untuk dilakukan hukuman kebiri. Sebab, korbannya lebih dari satu.
"Kalau menurut kami gini, ini memenuhi, satu, korbannya lebih dari satu. Yang kedua ini dilakukan berulang-ulang. Itu membuat boleh dihukum tambahan. Kebiri itu namanya hukuman tambahan. Hukuman tambahan kebiri," kata Retno di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta Senin (13/12).
Dirinya mengatakan hukuman kebiri bisa diberikan setelah pelaku menjalani hukuman pokok. Setelah menjalani 20 tahun penjara, hukuman kebiri bisa langsung diberikan kepada pelaku.
"(Hukuman kebiri) ini belum dilakukan di Indonesia, vonis sudah ada soal kebiri, tetapi yang dieksekusi belum ada karena kan harus ngikutin hukuman pokoknya dulu. Untuk kasus sebelumnya kaya Mojokerto kena 12 tahun kalau gak salah, berarti dia 12 tahun dulu baru kena hukuman tambahan," ungkapnya.
Pekan lalu, Kejaksaan Tinggi (Kejati) Jawa Barat menyebut Herry Wirawan terancam hukuman 20 tahun penjara akibat perbuatannya memerkosa 12 santriwati hingga hamil dan melahirkan. Plt Asisten Pidana Umum Kejati Jawa Barat Riyono mengatakan, Herry Wirawan dijerat dengan Pasal 81 UU Perlindungan Anak.
"Ancamannya 15 tahun, tapi perlu digarisbawahi di situ ada pemberatan karena sebagai tenaga pendidik, jadi ancamannya menjadi 20 tahun," kata Riyono di Bandung, Jawa Barat, Kamis (9/12).