Selasa 14 Dec 2021 06:54 WIB

Para Pekerja Rumah Tangga Desak RUU Perlindungan PRT Segera Disetujui

Pekerja rumah tangga menuntut RUU Perlindungan PRT segera dibawa ke sidang paripurna.

Rep: Febrianto Adi Saputro/ Red: Mas Alamil Huda
Sejumlah pengunjuk rasa melakukan aksi damai memperingati Hari Sumpah Pemuda di kawasan Patung Arjuna Wijaya, Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta, Kamis (28/10/2021). Massa gabungan dari kalangan mahasiswa dan buruh tersebut menyampaikan sejumlah tuntutan kepada pemerintah, seperti penurunan harga tes PCR, pencabutan UU Nomor 11 Tahun 2019 tentang Cipta Kerja dan berbagai aturan turunannya, penghentian kriminalisasi aktivis, hingga jaminan persamaan hak dan perlindungan bagi pekerja rumah tangga serta buruh migran. Pekerja rumah tangga meminta RUU PPRT segera disetujui.
Foto: ANTARA/Aditya Pradana Putra
Sejumlah pengunjuk rasa melakukan aksi damai memperingati Hari Sumpah Pemuda di kawasan Patung Arjuna Wijaya, Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta, Kamis (28/10/2021). Massa gabungan dari kalangan mahasiswa dan buruh tersebut menyampaikan sejumlah tuntutan kepada pemerintah, seperti penurunan harga tes PCR, pencabutan UU Nomor 11 Tahun 2019 tentang Cipta Kerja dan berbagai aturan turunannya, penghentian kriminalisasi aktivis, hingga jaminan persamaan hak dan perlindungan bagi pekerja rumah tangga serta buruh migran. Pekerja rumah tangga meminta RUU PPRT segera disetujui.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Para pekerja rumah tangga bersama sejumlah organisasi dan kelompok masyarakat akan menggelar aksi rantai diri di depan Gedung DPR RI Selasa (14/12) siang ini. Mereka menuntut agar Rancangan Undang-undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT) segera dibawa ke sidang paripurna.

Koordinator Jaringan Nasional Advokasi Pekerja Rumah Tangga (Jala PRT), Lita Anggraini, mengatakan, aksi rencananya akan dilakukan pukul 10.00 WIB. Sejumlah tuntutan akan disampaikan, antara lain mendesak agar Badan Legislasi (Baleg) DPR mengagendakan pembahasan RUU PPRT hasil pleno Baleg DPR dalam rapat paripurna terdekat.

Baca Juga

Selain itu, pimpinan DPR juga didesak untuk segera menetapkan RUU PRT sebagai inisiatif DPR dalam rapat paripurna terdekat. Kemudian mereka juga mendesak agar RUU PPRT disahkan sesegera mungkin.

Lita mengatakan, pada 1 Juli 2020 lalu Baleg DPR sepakat mengusulkan RUU PPRT menjadi inisiatif DPR dan telah dipaparkan di rapat Badan Musyawarah (Bamus) pada tanggal 15 Juli 2020 setelah 17 tahun diusulkan. Namun sayangnya, tidak seperti usulan legislasi yang lain, RUU PPRT tidak pernah dijadwalkan lagi menjadi agenda untuk dibahas di sidang paripurna. 

Lita menyebut hal ini terjadi selama satu setengah tahun ini. Dua fraksi yang menjadi mayoritas di DPR, yakni Fraksi Partai Golkar (FPG) dan Fraksi PDIP (FPDIP) menolak membawa RUU PPRT untuk dibahas di rapat paripurna.

"Perlakuan diskriminatif terhadap usulan Baleg ini menunjukkan adanya ketidakberpihakan dari pimpinan DPR khususnya dari FPG dan FPDIP kepada nasib jutaan PRT di Indonesia," kata Lita dalam keterangan tertulisnya, Selasa (14/12).

Selain itu, terhentinya proses legislasi RUU PPRT ini juga menunjukkan bahwa pimpinan DPR, khususnya dari Fraksi PDIP dan FPG mendudukkan dirinya sebagai agen perbudakan modern yang membiarkan situasi kerja yang tidak layak dan berbagai bentuk kekerasan terhadap sekitar 4,2 juta PRT di Indonesia terus berlangsung secara sistematis.

Hal tersebut sangat bertentangan dengan slogan yang digaungkan pimpinan DPR selama ini, yakni untuk selalu memberikan perlindungan terhadap semua pihak termasuk perempuan dan tidak meninggalkan siapapun dalam pembangunan. 

"Sebaliknya, sikap tindakan pimpinan DPR dari FPDIP dan FPG justru membiarkan kaum perempuan yang bekerja menjadi PRT menjadi pihak yang selalu dikorbankan dalam pembangunan. Hal ini sangat bertentangan dengan ideologi kemanusiaan dan keadilan sosial yang selalu diperjuangkan proklamator Soekarno," ucapnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement