REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Jaringan Nasional Advokasi Pekerja Rumah Tangga (Jala PRT), dan sejumlah organisasi/kelompok masyarakat mendesak agar DPR segera mengesahkan Rancangan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT). Koordinator Jaringan Nasional Advokasi Pekerja Rumah Tangga (Jala PRT) Lita Anggraini mengatakan, meskipun telah menjadi RUU usulan inisiatif DPR, RUU PPRT tak kunjung dijadwalkan menjadi agenda untuk dibahas di Sidang Paripurna.
"Hal ini terjadi selama satu setengah tahun ini. Pimpinan justru telah mengagendakan usulan-usulan RUU lain yang belakangan masuk Bamus, jauh setelah RUU PPRT diusulkan ke Bamus. Ini terjadi dalam rapat Bamus pada pekan lalu," kata Lita dalam keterangan tertulisnya kepada Republika, Ahad (12/12).
Jala PRT menduga belum disahkannya RUU PPRT lantaran dihentikan oleh pimpinan DPR dari dua fraksi. Dua fraksi yang menolak membawa RUU PPRT untuk dibahas di Rapat Paripurna, yakni Fraksi Partai Golkar dan Fraksi PDIP.
"Perlakuan diskriminatif terhadap usulan Baleg ini menunjukkan adanya ketidakberpihakan dari pimpinan DPR khususnya dari Fraksi Partai Golkar dan Fraksi PDIP kepada nasib jutaan PRT di Indonesia," tegasnya.
Selain itu, Lita juga menilai ada indikasi pelanggaran kode etik DPR seperti diatur UU nomor 42 tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD (UU MD3) terkait tugas Pimpinan DPR. Dalam pasal 86 ayat (1) UU MD3 disebutkan tugas Pimpinan DPR adalah memimpin Sidang DPR dan menyimpulkan hasil Sidang untuk diambil keputusan. Sedangkan ayat (2) menyebutkan Pimpinan DPR menyusun rencana kerja; melakukan koordinasi dalam upaya menyinergikan pelaksanaan agenda dan materi kegiatan dari alat kelengkapan DPR.
"Dugaan pelanggaran etik ini kemudian berdampak kepada potensi pelanggaran pasal 81 huruf e UU MD3 yang menyatakan anggota DPR berkewajiban “memperjuangkan peningkatan kesejahteraan rakyat” dan Pasal 81 huruf f UU MD3 yang menyatakan Anggota DPR berkewajiban “menaati prinsip demokrasi dalam penyelenggaraan pemerintahan negara," jelasnya.
Selain itu, terhentinya proses legislasi RUU PPRT ini juga menunjukkan bahwa pimpinan DPR, khususnya dari Fraksi PDIP dan FPG, mendudukkan dirinya sebagai agen perbudakan modern yang membiarkan situasi kerja yang tidak layak dan berbagai bentuk kekerasan terhadap sekitar 4,2 juta PRT di Indonesia terus berlangsung secara sistematis. Hal tersebut sangat bertentangan dengan slogan yang digaungkan pimpinan DPR selama ini, yakni untuk selalu memberikan perlindungan terhadap semua pihak termasuk perempuan dan tidak meninggalkan siapapun dalam pembangunan.
"Sebaliknya sikap tindakan Pimpinan DPR dari FPDIP dan FPG justru membiarkan kaum perempuan yang bekerja menjadi PRT menjadi pihak yang selalu dikorbankan dalam pembangunan. Hal ini sangat bertentangan dengan ideologi kemanusiaan dan keadilan sosial yang selalu diperjuangkan proklamator Soekarno," ucapnya.
Rencananya Jala PRT dan sejumlah kelompok masyarakat lainnya seperti BEM UI, BEM Jentera, LBH Jakarta, dan YLBHI akan mengadakan 'Aksi Rantai dan Gembok Gerbang DPR RI' pada Selasa, (14/12) pukul 10.00 WIB mendatang. Lita menjelaskan sejumlah tuntutan yang akan disampaikan, antara lain mendesak agar Baleg DPR mengagendakan pembahasan RUU PPRT hasil pleno Baleg DPR dalam rapat paripurna terdekat. Selain itu Pimpinan DPR juga didesak untuk segera menetapkan RUU PRT sebagai inisiatif DPR dalam rapat paripurna terdekat. Kemudian mereka juga mendesak agar RUU PPRT disahkan sesegera mungkin.