REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi III DPR mengusulkan revisi Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan. Dalam RUU tersebut, akan ada 14 poin penyempurnaan demi memperkuat kejaksaan yang selama ini hanya dianggap sebagai kurir yang mengantar berkas perkara yang disidik kepolisian ke meja persidangan.
Pertama, adalah Penyesuaian standard perlindungan terhadap jaksa dan keluarganya di Indonesia sesuai standard perlindungan profesi jaksa yang diatur di dalam United Nation Guidelines on the Rule of Procecutor dan International Association of Procecutor (IAP). Indonesia sendiri telah bergabung dengan lembaga tersebut sejak 2006.
"Kedua, pengaturan mengenai intelijen penegakan hukum atau intelijen yustisial berdasarkan UU yang mengatur mengenai intelijen negara," ujar Wakil Ketua Komisi III DPR Pangeran Khairul Saleh dalam rapat kerja dengan Kementerian Hukum dan HAM, Senin (15/11).
Selanjutnya, kewenangan pengawasan barang cetakan dan multimedia yang diatur dan menyesuaikan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 6-13-20/PUU/VIII/2010. Bahwa kejaksaan sebagai lembaga pemerintahan yang melakukan pengamanan terhadap barang cetakan, harus melalukan penyitaan atau tindakan hukum lain melalui proses peradilan.
Keempat, pengaturan fungsi advocate generaal bagi Jaksa Agung. Karena pada dasarnya, Jaksa Agung selain sebagai penuntut umum tertinggi di Indonesia juga memiliki kewenangan advocate generaal sebagaimana disebutkan salah satunya dalam undang-undang yang mengatur mengenai Mahkamah Agung (MA) dalam permohonan kasasi.
"Dalam pelaksanaan fungsinya, Jaksa Agung dengan kuasa khusus ataupun karena kedudukan dan jabatannya juga dapat bertindak sebagai Jaksa Pengacara Negara di Bidang Perdata dan Tata Usaha Negara serta ketatanegaraan di semua lingkungan peradilan dan Mahkamah Konstitusi sebagaimana diatur dalan Peraturan Presiden Nomor 100 Tahun 2016 tentang penanganan pengujian Undang-Undang di Mahkamah Konstitusi," ujar Pangeran.
Kelima, pengaturan kewenangan kejaksaan dan dalam melakukan mediasi penal dalam kerangka sistem peradilan pidana (integrated criminal justice system). Selanjutnya, pengaturan kewenangan kejaksaan melakukan penyadapan yang dilakukan dalam rangka penegakan hukum sebagaimana diatur dalam Undang-Undang tentang Informasi dan Transaksasi Elektronik dan penyelenggaraan pusat pemantauan di bidang tindak pidana.
Tujuh, pengaturan kewenangan kejaksaan untuk mengoordinasikan, mengendalikan, dan melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana yang dilakukan bersama oleh orang yang tunduk pada peradilan umum dan peradilan militer. Kedelapan, pengaturan kewenangan kejaksaan menggunakan denda damai dalam tindak pidana ekonomi.
"Sembilan, pengaturan mengenai penundaan Tanda Nomor Kendaraan Bermotor (TNKB) khusus untuk kelancaran pelaksnaan tugan dan wewenang, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan," ujar Pangeran.
Ke-10, pengaturan mengenai penyelenggaraan kesehatan yustisial kejaksaan dalam mendukung tugas dan fungsi kejaksaan. Kemudian, penguatan sumber daya manusai kejaksaan melalui pengembangan pendidikan di bidang profesi, akademik, keahlian, dan kedinasan.
Poin nomor 12 , pengaturan kewenangan kerja sama kejaksaan dengan lembaga penegak hukum dari negara lain dan lembaga atau organisasi internasional. Mengingat kedudukan kejaksaan sebagai Focal Point pada lembaga International Association of Anti Corruption Authorities (IAACA), International Association of Prosecutor (IAP), dan forum jaksa agung China-ASEAN.
Ke-13, pengaturan untuk kewenangan kejaksaan lain, seperti memberikan pertimbangan dan keterangan sebagai bahan informasi dan verifikasi tentang ada atau tidaknya dugaan pelanggaran hukum yang sedang atau telah diproses dalam perkara pidana untuk menduduki jabatan publik mauun memberi gelar, tanda jasa, dan tanda kehormatan.
"Terakhir, penegasan peran kejaksaan dalam menjaga keutuhan serta kedaulatan negara dan bangsa pada saat dalam keadaan bahaya, darurat sipil, dan militer, dan dalam perang," ujar Pangeran.