REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Amnesty Internasional Indonesia meminta aparat kepolisian yang membanting mahasiswa saat pengamanan demonstrasi di Tiga Raksa, Tangerang, pada Rabu (13/10), dibawa ke pengadilan. Direktur Eksekutif Amnesty Indonesia, Usman Hamid, menegaskan, tindakan anggota kepolisian tersebut adalah bentuk dari kekerasan dan brutalisme yang dilakukan aparat negara.
Usman mengatakan, tak semestinya aparat pengamanan unjuk rasa melakukan praktik-praktik brutalisme terhadap mahasiswa. “Tindakan kepolisian yang membanting mahasiswa perserta unjuk rasa tersebut adalah tindakan brutalisme yang tidak boleh dilakukan petugas polisi. Tindakan itu jelas adalah tindakan kriminal,” kata Usman dalam keterangan resmi yang diterima Republika, di Jakarta, pada Rabu (13/10).
Tindakan brutal anggota kepolisian terhadap para pengunjuk rasa, bukan sekali ini saja terjadi. Akan tetapi, aksi-aksi premanisme dan brutalisme personel kepolisian tersebut kerap berakhir dengan impunitas dan permintaan maaf lalu menghilang kasusnya. Aksi brutal kepolisian di Tangerang kali ini dinilai sebagai bentuk inkonsistensi aparat kepolisian dalam kampanye humanisnya yang digembar-gemborkan baru-baru ini.
Usman mengingatkan Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo yang selama ini kerap memerintahkan agar anggotanya mengutamakan pendekatan humanis dalam menyikapi berbagai kritik, maupun dalam pengamanan penyampaian aspirasi atau demonstrasi. Karena itu, Amnesty Indonesia mendesak agar otoritas kepolisian, atas nama negara membawa para personelnya yang melakukan aksi-aksi brutal tersebut ke ruang pengadilan untuk pertanggungjawaban pidana.
“Negara harus membawa anggota polisi yang melakukan aksi brutal tersebut, ke pengadilan untuk diadili,” kata Usman.
Membawa polisi brutal ke pengadilan, kata Usman, bukan cuma untuk memberikan rasa adil terhadap para korban. Tetapi langkah membawa ke pengadilan tersebut sebagai bentuk pertanggungjawaban Polri atas anggotanya untuk selalu mawas diri agar menjadi lebih manusiawi dalam menghadapi unjuk rasa. “Jika tidak dibawa ke pengadilan, maka aksi-aksi brutalisme kepolisian ini akan terus berulang," ujar Usman.
Aksi demonstrasi gabungan mahasiswa digelar bertepatan dengan hari ulang tahun (HUT) Tangerang, Rabu (13/10). Para mahasiswa tersebut melakukan aksi duduk dan orasi di kawasan Pusat Pemerintahan Kabupaten Tangerang di Tiga Raksa. Namun aksi demonstrasi yang semula tertib berakhir ricuh. Massa unjuk rasa mahasiswa dan petugas keamanan dari kepolisian melakukan aksi saling dorong.
Aksi saling dorong yang membuat situasi semakin tak terkendali mendesak satuan keamanan melakukan penangkapan para demonstran. Beredar di media sosial, aksi penangkapan tersebut merekam salah satu anggota kepolisian berseragam hitam-hitam yang mengenakan helm hitam menangkap seorang mahasiswa yang mengenakan almamater biru gelap.
Dalam video tersebut, petugas polisi itu memiting mahasiswa dari arah belakang, lalu menyeretnya ke areal trotoar. Sampai di areal trotoar, petugas keamanan hitam-hitam tersebut membanting mahasiswa. Dari rekaman video tersebut, terlihat si polisi sambil memiting leher mahasiswa dari bagian belakang lalu menaikkan kaki bagian pahanya untuk mengangkat tubuh mahasiswa ke atas udara lalu melepaskannya ke trotoar beton.
Terlihat, si mahasiswa dengan posisi tulang tubuh bagian belakang mendarat di trotoar beton. Dari rekaman video yang sama, setelah pembantingan tersebut, si mahasiswa tampak kejang-kejang sampai tak sadarkan diri. Terekam dalam video yang sama, sejumlah petugas kepolisian lainnya berusaha untuk menyadarkan si mahasiswa.
Baca juga : Komnas HAM: Oknum Polisi Smackdown Mahasiswa Harus Ditindak
Aksi personel keamanan unjuk rasa tersebut mendapat kecaman dari berbagai pihak. Mabes Polri pun turun tangan dengan menerjunkan Divisi Propam untuk memeriksa personel brutal tersebut.
View this post on Instagram