REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktur Eksekutif Amnesty Internasional Indonesia, Usman Hamid menilai, pengesahan tiga Rancangan Undang-Undang Daerah Otonomi Baru (RUU DOB) Papua hari ini dilakukan melalui penyelundupan hukum. Sebab, Usman menjelaskan, pengesahan itu dilaksanakan tanpa memenuhi dua mekanisme yang berlaku.
"DOB yang sekarang dituangkan dalam RUU yang akan segera disahkan, ini sebenarnya dilakukan melalui penyelundupan hukum," kata Usman dalam diskusi virtual, Kamis (30/6/2022).
Usman menjelaskan, berdasarkan Pasal 76 UU Otsus Tahun 2001, pemekaran Papua menjadi provinsi-provinsi setidaknya harus memenuhi dua mekanisme. Pertama, dilakukan atas persetujuan Majelis Rakyat Papua (MRP) dan Dewan Perwakilan Rakyat Papua (DPRP).
"Tanpa persetujuan dua lembaga representasi kultural dan representasi politik orang asli Papua, maka DOB tidak bisa dilakukan," ujarnya.
Mekanisme yang kedua, sambung dia, pemekaran Provinsi Papua dilakukan dengan mempertimbangkan empat faktor, yakni kesatuan sosial budaya, kesiapan sumber daya manusia, perkembangan ekonomi dan dinamika perkembangan di masa depan. Usman menuturkan, jika merujuk pada Pasal 76 UU Otsus Tahun 2001 atau Pasal 76 ayat 1 UU Otsus Tahun 2021, maka tiga RUU DOB Papua tersebut melanggar hukum atau datang dari penyelundupan hukum.
"Kenapa dikatakan melanggar hukum? Karena dua mekanisme tadi tidak terpenuhi. Tetapi pemerintah beralasan dan ini sebenarnya yang saya sebut sebagai penyelundupan hukum, yaitu pelanggaran dua mekanisme itu dikaburkan dengan adanya ayat kedua yang diselundupkan dalam Pasal 76 UU Otsus Tahun 2021. Sehingga pasal ini memiliki aturan yang bersayap atau bersifat mendua," jelas dia.
Dia menuturkan, mekanisme yang semula wajib mendapat persetujuan MRP dan DPRP justru diubah sepihak oleh pemerintah pusat dan DPR, hingga menjadi tidak wajib. "Mekanisme yang wajib melalui persetujuan MRP dan DPRP dalam konteks pemekaran provinsi, dibuat menjadi tidak efektif dengan penambahan ketentuan ayat 2 Pasal yang sama bahwa pemekaran Papua menjadi provinsi-provinsi dapat juga dilakukan oleh pemerintah dan DPR pusat," tutur dia.
Usman menambahkan, pengesahan tersebut juga tidak mempertimbangkan faktor kesatuan sosial budaya. Dia melanjutkan, RUU DOB ini akan menjadi payung hukum bagi pembentukan tiga provinsi baru di Papua, yakni Provinsi Papua Selatan, Provinsi Papua Tengah, dan Provinsi Papua Pegunungan Tengah. "Ini tidak serta merta sesuai kesatuan sosial budaya," ungkap Usman.
Provinsi Papua Tengah, jelas dia, tidak bisa dianggap mewakili tanah adat Meepago. Kemudian, Provinsi Pegunungan Tengah juga tak bisa dianggap mewakili tanah adat Lapago, sekalipun sebagian wilayahnya berada di sana.
"Begitupun Provinsi Papua Selatan, tak bisa dianggap cukup mewakili tanah adat Animha," jelasnya.
Selain itu, Usman juga mengkritik DPR dan pemerintah pusat yang seolah-olah tidak mau menunggu keputusan Mahkamah Konstisusi (MK) atas uji materil UU Otsus Papua. Gugatan ini sudah diajukan oleh MRP bersama dengan Majelis Rakyat Papua Barat (MRPB) sejak tahun lalu dan hingga kini masih berjalan.
Dalam kesempatan yang sama, Ketua MRP, Timotius Murib pun mengkritik pengesahan tiga RUU DOB Papua. Menurut dia, keputusan ini bukanlah keinginan Orang Asli Papua (OAP).
"DOB ini konsekuensi daripada undang-undang perubahan kedua yang terburu-buru dan tanpa ada keterlibatan dari rakyat Papua. Sehingga tiga RUU (DOB Papua) yang baru itu saya pikir ini adalah keinginan Jakarta (pemerintah pusat), bukan keinginan Orang Asli Papua," kata Timotius.
Selain itu, Timotius menilai, pemerintah tidak memikirkan kepentingan kesejahteraan OAP. Namun, justru hanya memperhatikan kepentingan investasi dengan memburu atau mencari kekayaan alam di Papua.
"Tidak rahasia lagi, ini keinginan untuk memburu kekayaan alam Papua. Sehingga kepentingan rakyat itu diabaikan," tutur dia.