Senin 20 Sep 2021 00:48 WIB

Perjuangan Pegawai KPK Juga demi Lawan Stigmatisasi Taliban

Komnas HAM melawan berbagai stigmatisasi yang dialamatkan pada kelompok tertentu.

Rep: Amri Amrullah/ Red: Andri Saubani
Penyidik nonaktif KPK Novel Baswedan mengikuti aksi anti korupsi di Jakarta, Rabu (15/9/2021). Aksi tersebut berlangsung sebagai bentuk kekecewaan terhadap pemberantasan korupsi di Indonesia, serta meminta Presiden Joko Widodo untuk membatalkan pemecatan 57 pegawai KPK yang selama ini memiliki integritas tinggi dalam pemberantasan korupsi di Indonesia.
Foto: ANTARA/Akbar Nugroho Gumay
Penyidik nonaktif KPK Novel Baswedan mengikuti aksi anti korupsi di Jakarta, Rabu (15/9/2021). Aksi tersebut berlangsung sebagai bentuk kekecewaan terhadap pemberantasan korupsi di Indonesia, serta meminta Presiden Joko Widodo untuk membatalkan pemecatan 57 pegawai KPK yang selama ini memiliki integritas tinggi dalam pemberantasan korupsi di Indonesia.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Perjuangan pegawai KPK yang tidak lulus tes wawasan kebangsaan (TWK) selain melawan pelemahan pemberantasan korupsi, juga melawan stigmatisasi yang selalu menjadi alat politik. Menurut Komnas HAM, stigmatisasi itulah yang harus dihilangkan dan dilawan agar setiap proses hukum dan pemberantasan korupsi bisa berjalan optimal.

Komisioner Komnas HAM, Choirul Anam mengatakan banyak pihak yang mempertanyakan peran Komnas HAM memperjuangkan pegawai KPK yang tak lulus TWK tersebut. Padahal, jelas kewenangan Komnas HAM sangat luas sesuai Undang-Undang 39 pasal 1.

Baca Juga

Namun yang paling penting menurut dia, adalah keinginan Komnas HAM melawan berbagai stigmatisasi yang selalu dialamatkan pada kelompok tertentu, dengan tujuan menghilangkan peran mereka. Sebagaimana stigma-stigma yang disematkan Taliban atau anti-Pancasila kepada pegawai yang tidak lolos TWK, padahal mereka sama sekali jauh dari stigma tersebut.

"Stigma itu merendahkan martabat manusia, yang disampaikan untuk operasi terselubung dan ilegal," kata dia, dalam diskusi  "September Kelabu di KPK, Akhir Nasib Pemberantasan Korupsi?", Ahad (19/9).

Karena menurut dia, stigmatisasi seperti itulah yang sering kali disematkan ke setiap kelompok agar mereka bisa direndahkan sebagai manusia. Sebagaimana yang telah terjadi dalam sejarah pelanggaran HAM di Indonesia, soal stigma komunis, dan stigma-stigma lain. Kini yang dimunculkan adalah stigma soal radikal dan anti pancasila.

Kemudian, ungkap Anam, Komnas HAM juga menelusuri apakah benar pegawai KPK yang dianggap tidak memenuhi syarat (TMS) karena dianggap anti pancasila tersebut benar. Faktanya pegawai yang disebut tak lulus TWK tersebut berkali-kali telah mendapatkan pelatihan ideologi pancasila bahkan mendapat nilai terbaik.

Justru kenyataannya, kata dia, Komnas HAM mendapati adanya praktik ilegal dalam proses TWK ini. Karena itu, Komnas HAM meminta dibuka jawaban mereka pegawai yang tak lolos TWK tersebut.

"Karena kami yakin jawaban mereka normatif dan sama dengan jawaban yg lain. Makanya kita minta buka, itu teknisnya. Tapi persoalannya kan ini tidak dibuka agar terbuat stigma di masyarakat soal anti pancasila dan taliban dan sebagainya," terang dia.

Anam bahkan menyebut, ada indikasi pertanyaan-pertanyaan yang ada kopnya seolah resmi dari BKN tapi ternyata disusupkan dari pertanyaan BAIS. "Inikan prosedur yang ilegal dan operasi terselubung. Makanya kita minta diluruskan bareng bareng, maka kita melihat akuntabilitas ini," jelasnya.

Dan persoalan ini ungkap dia, sudah Komnas HAM mintakan ke Presiden Joko Widodo melalui rekomendasi yang dikirim. Agar dibuka semua prosesnya dan tidak ada stigma kepada pegawai KPK yang tidak lulus. Maka bila itu tidak dilakukan, Komnas HAM melihat TWK pegawai KPK ini memang untuk menyingkirkan orang, jadi bukan sekedar tes biasa.

Karena informasi dari BKN, ukuran TMS (tidak memenuhi syarat) dan MS (memenuhi syarat) juga tidak ada ukurannya, dan apa dasar hukumnya. Terlebih, kata dia, aturan BKN bila dipakai untuk ukuran tes pegawai KPK kemarin, maka semua memenuhi syarat tidak ada yang TMS.

"Makanya kita pertanyakan ukurannya dari mana mereka TMS. Dan semua rekomendasi Komnas HAM pasti mengarah ke Presiden sebagaimana rekomendasi Komnas HAM yang sudah-sudah terhadap kasus kasus pelanggaran HAM lain, terbaru soal rekomendasi 6 laskar FPI yang ditanggapi presiden," terangnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement