Jumat 18 Jun 2021 19:03 WIB

ICW Duga Ghufron Takut Sebut Firli Sebagai Penggagas TWK

ICW meminta pimpinan KPK lainnya memenuhi panggilan Komnas HAM.

Rep: Dian Fath Risalah/ Red: Andri Saubani
Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron berjalan meninggalkan  Gedung Komnas HAM, Jakarta, Kamis (17/6). Komisi Pemberantasan Korupsi memenuhi panggilan Komnas HAM yang diwakili Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron untuk dimintai keterangan terkait dugaan pelanggaran HAM atas penyelenggaraan Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) saat proses alih status menjadi Aparatur Sipil Negara. Republika/Thoudy Badai
Foto: Republika/Thoudy Badai
Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron berjalan meninggalkan Gedung Komnas HAM, Jakarta, Kamis (17/6). Komisi Pemberantasan Korupsi memenuhi panggilan Komnas HAM yang diwakili Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron untuk dimintai keterangan terkait dugaan pelanggaran HAM atas penyelenggaraan Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) saat proses alih status menjadi Aparatur Sipil Negara. Republika/Thoudy Badai

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Indonesia Corruption Watch (ICW) menduga Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Nurul Ghufron mengetahui siapa penggagas Tes Wawasan Kebangsaan (TWK). Peneliti ICW Kurnia Ramadhana menduga Ghufron menutupi hal tersebut guna melindungi Ketua KPK Firli Bahuri yang merupaka pencetusnya.

"ICW mempertanyakan ketidaktahuan Nurul Ghufron saat ditanya oleh Komnas HAM perihal penggagas Tes Wawasan Kebangsaan (TWK). Betapa tidak, Nurul Ghufron adalah satu diantara lima Komisioner KPK yang pada akhirnya sepakat untuk menyelundupkan TWK dalam Peraturan Komisi Pemberantasan Korupsi Nomor 1 Tahun 2021," tutur Kurnia kepada Republika, Jumat (18/6).

Baca Juga

"Maka dari itu, ICW meyakini bahwa Nurul Ghufron bukan tidak tahu, melainkan berusaha menutupi atau mungkin takut menyebutkan bahwa Firli Bahuri adalah figur yang menggagas TWK untuk seluruh pegawai KPK," tambah Kurnia.

Selain itu, ICW mendesak agar empat orang komisioner lain (Firli Bahuri, Nawawi Pomolango, Alexander Marwata, dan Lili Pintauli Siregar) serta Sekjen KPK untuk berani memenuhi panggilan Komnas HAM. "Jangan terus menerus bersembunyi di balik permasalahan ini," tegas Kurnia.

Komnas HAM menyebut ada sejumlah pertanyaan yang tidak bisa dijawab oleh Ghufron terkait pelaksanaan asesmen TWK. Menurut Komisioner Pemantauan dan Penyelidikan Komnas HAM M Choirul Anam, pertanyaan yang tidak bisa dijawab Ghufron, termasuk mengapa memilih TWK sebagai salah satu syarat alih status ASN pegawai KPK.

"Kenapa yang digunakan juga adalah tes wawancara kebangsaan yang tadi dijelaskan Pak Nurul Ghufron dan Pak Nurul Ghufron ini juga tidak bisa jawab karena KPK tidak tahu katanya itu lininya BKN (Badan Kepegawaian Negara)," kata Anam, Kamis (17/6).

Setidaknya, ada tiga klaster pertanyaan yang disebut Anam tak bisa dijawab oleh Ghufron. Pertama, mengenai pengambilan kebijakan di level apakah itu keputusan bersama pimpinan KPK atau tidak.

"Makanya itu harus (dijawab) orang-orang tersebut yang terkait dalam konstruksi peristiwa itu," tegasnya.

 

Ghufron juga disebut tak bisa menjawab pertanyaan soal siapa yang mewarnai proses tersebut. Terakhir, Ghufron juga tidak bisa menjawab siapa yang pertama kali punya ide penggunaan TWK dalam alih status pegawainya.

"Karena bukan beliau (yang mengeluarkan ide itu) dan beliau juga tidak bisa menjawab," ungkapnya.

Ghufron membantah pernyataan Anam, yang menyebut dirinya tidak mengetahui pencetus TWK sebagai proses alih status pegawai KPK.

"Perlu saya klarifikasi bahwa tidak benar pernyataan Komisioner Komnas HAM Choirul Anam yang menyatakan saya tidak tahu siapa yang menggagas ide TWK," ujar Ghufron melalui keterangan tertulis, yang diterima Republika, Jumat (18/6).

Ghufron mengaku sudah memberikan penjelasan terkait TWK kepada Komnas HAM. Kepada Komnas HAM, Ghufron menyampaikan ide TWK bermula saat pertemuan antara KPK dengan pihak terkait pada 9 Oktober 2020.

Menurut Ghufron, pada saat itu sudah dibahas mengenai pemenuhan syarat kesetiaan terhadap Pancasila, NKRI, UUD 1945, dan pemerintahan yang sah apakah cukup dengan penandatanganan pakta integritas saja atau tidak.

"Dari diskusi tersebut terus berkembang dan bersepakat mengacu pada peraturan yang berlaku yaitu untuk menjadi ASN ada Tes Kompetensi Dasar dan Tes Kompetensi Bidang," jelasnya.

Ia menjelaskan, tes kompetensi dasar meliputi tiga aspek yakni tes inteligensi umum (TIU), tes karakteristik pribadi (TKP), dan tes wawasan kebangsaan (TWK).

"Dan hal tersebut kemudian disepakati dalam draf Rancangan Perkom KPK pada tanggal 21 Januari 2021 yang disampaikan ke Kemenkumham untuk diharmonisasi. Draf disepakati dan ditandatangani oleh pimpinan KPK setelah dirapatkan bersama segenap struktural KPK," tuturnya.

Menurut Ghufron, pegawai KPK tidak menjalani TIU karena sudah dites saat proses rekrutmen baik sebagai pegawai tetap maupun tidak tetap. Sama halnya dengan tes kompetensi bidang yang tidak diperlukan lagi karena pegawai KPK sudah mumpuni dalam pekerjaannya memberantas korupsi.

"Yang belum adalah tes wawasan kebangsaannya sebagai alat ukur pemenuhan syarat bukti kesetiaan terhadap NKRI, Pancasila, UUD 1945 dan pemerintah yang sah," terang dia.

Ia memastikan, pelaksanaan TWK sudah sesuai peraturan yang berlaku, yakni Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 41 Tahun 2020 dan Perkom Nomor 1 Tahun 2021.

"Syarat dalam PP 41/2020 ini sama dengan syarat menjadi ASN dalam UU 5/2014 tentang ASN Pasal 3, 4, 5 dan 66. Di samping UU ASN Pasal 62 ayat (2) dan juga dimandatkan dalam   PP 11 tahun 2017 Pasal 26 ayat (4) tentang TWK," tegasnya.

photo
Pimpinan KPK, KemenpanRB dan BKN memutuskan memecat 51 pegawai KPK yang tak lolos tes wawasan kebangsaan (TWK) - (Republika.co.id.)

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement