Jumat 28 May 2021 18:56 WIB

Tawaran Nikah Tersangka Pemerkosa yang Ditolak Ayah Korban

“Saya selaku orang tua korban menolak dengan tegas,” kata D, ayah korban.

Anggota DPRD Kota Bekasi, IHT, menyerahkan anaknya, AT (21), tersangka kasus persetubuhan dan perdagangan orang ke Polres Metro Kota Bekasi, Jumat (21/5)
Foto:

Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), mengingatkan bahwa wacana tersangka untuk menikahi korban yang dinyatakan oleh penasihat hukum harus ditanggapi secara kritis oleh aparat penegak hukum. Peneliti ICJR, Maidina Rahmawati, mengatakan, sesuai dengan Pasal 81 Perpu 1 tahun 2016 juncto Pasal 76D UU No. 35 tahun 2014 tentang Perlindungan Anak bahwa, setiap orang dilarang melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain.

“Memaksa anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain, yang diganjar dengan pidana penjara paling singkat 5 tahun dan paling lama 15 tahun dan denda paling banyak Rp 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah),” terangnya dalam keterangan resmi, Jumat (28/5).

Lebih lanjut, Madina menyampaikan perbuatan melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain juga dinyatakan sebagai tindak pidana.

“Sekalipun ada narasi bahwa keduanya adalah perbuatan suka sama suka,” terang dia.

Hal itu lantaran korban berusia anak, maka tidak ada konsep persetujuan murni orang di bawah usia 18 tahun untuk melakukan hubungan seksual.

“Ide menikahkan korban dengan dalih menghindari dosa apalagi untuk meringankan hukuman jelas tidak dapat dibenarkan. Pelaku telah melakukan tindak pidana, yang merupakan urusan hukum publik, bukan ranah kekeluargaan atau keperdataan,” jelasnya.

Komisioner Komnas Perempuan, Siti Aminah Tardi, menuturkan, dampak yang terjadi pada korban persetubuhan paksa tidak dapat selesai dengan perkawinan.

“Justru akan menambah beban trauma untuk korban dan tidak membantu proses pemulihan korban,” terang Siti saat dihubungi Republika.co.id, Selasa (25/5).

Dia menerangkan, korban bisa saja menerima kekerasan kembali ketika dalam rumah tangganya kelak. “Karenanya tidak boleh menikahkan korban dan pelaku,” tutur Siti.

Adapun, dia menerangkan, menikahkan korban dengan pelakunya merupakan bentuk kekerasan berbasis gender lainnya yaitu pemaksaan perkawinan atau forced marriage.

“Pemaksaan perkawinan dilarang dalam Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan, Konvensi Hak Anak, juga Konstitusi, UU HAM dan UU Perkawinan,” terangnya.

Hak seseorang memasuki perkawinan hanya dapat dilaksanakan berdasarkan pilihan bebas dan persetujuan penuh oleh kedua mempelai. Dalam hal ini, jelas korban tidak memasuki perkawinan berdasarkan pilihan bebas dan persetujuannya.

“Kita harus mempertimbangkan dan menjadikan pemulihan hak korban sebagai isu prioritas penanganan kasus ini,” tuturnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement