REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Indonesia Corruption Watch (ICW) memandang Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) merupakan bagian dari rangkaian pelemahan yang berasal dari internal KPK. Sebelumnya, upaya pelemahan KPK dan demokrasi Indonesia telah dimulai sejak disahkannya UU 19/2019.
"Secara lebih lanjut, ICW mencatat setidaknya ada dua hal penting yang harus diperhatikan terkait TWK yang telah dilaksanakan oleh KPK," kata Peneliti ICW, Wana Alamsyah dalam keterangannya, Selasa (11/5).
Pertama, tes ini adalah upaya untuk mengeliminasi penyelidik, penyidik, dan staf KPK yang memiliki integritas melawan korupsi tanpa pandang bulu siapapun pelaku korupsinya. Rencana pemecatan penyelidik dan penyidik itu juga terjadi di saat KPK sedang menangani beberapa kasus korupsi yang melibatkan kader partai politik pendukung pemerintah, misalnya suap pengadaan paket bansos sembako di Kementerian Sosial, suap ekspor benih lobster, korupsi KTP-elektronik, dan lainnya.
Kedua, substansi TWK memuat pertanyaan-pertanyaan yang tidak relevan dengan praktik kerja KPK. Menurut penuturan staf KPK yang mengikuti tes, dalam soal tes tersebut terdapat unsur sexist, diskriminatif dan intervensi dalam kehidupan personal. Hal ini mengonfirmasi dugaan bahwa persoalan kompetensi, integritas dan anti-korupsi bukan menjadi prioritas pada pengujian tersebut. "Kisruh dan kegaduhan atas rencana pemecatan 75 pegawai KPK tidak dapat dilepaskan dari kepemimpinan Firli Bahuri," tegas Wana.
Sebelumnya, terdapat sederet persoalan serius yang juga terjadi pada era kepemimpinannya. Mulai dari keengganan meringkus Harun Masiku, pencurian barang bukti emas oleh pegawai KPK, suap dan gratifikasi yang diterima oleh penyidik KPK dalam penyelidikan perkara Walikota Tanjungbalai dan terakhir, munculnya video yang menunjukkan pertemuan antara Firli Bahuri dengan salah satu Komisaris PT Pelindo, yang kasusnya sedang ditangani oleh KPK.
Selain itu, kondisinya kian suram tatkala Firli sendiri selaku pegawai maupun Ketua KPK telah dua kali melanggar kode etik, baik karena bertemu dengan kepala daerah NTB maupun menggunakan moda transportasi mewah seperti helikopter. Terlepas dari itu, ICW juga mendesak agar Presiden Joko Widodo segera bersikap dengan menolak adanya pemberhentian puluhan pegawai KPK.
"Sebab, persoalan ini muncul atas buah dari kebijakan Presiden juga tatkala memilih Pimpinan KPK kontroversi seperti Firli Bahuri dan regulasi yang mengakomodir alih status kepegawaian KPK melalui UU 19/2019. Jadi, segala persoalan yang timbul akibat dari kekeliruan kebijakan politik hukum pemberantasan korupsi itu mesti diletakkan sebagai tanggungjawab dari Presiden, " tegas Wana.
ICW menilai, KPK sudah berada di ambang kehancuran, kemerosotan reputasi dan kehilangan kepercayaan publik yang kian serius. Menurut ICW agar KPK tetap dapat dijaga dari kehancuran dan pembusukan, maka Dewan Pengawas harus mengambil tindakan tegas dan serius.
Karena, berbagai akumulasi persoalan dan kegaduhan di KPK tidak dapat dilepaskan dari tanggung jawab Ketua KPK dan Pimpinan KPK yang lain. "Oleh karena itu, ICW mendesak agar Dewan Pengawas KPK mengambil inisiatif untuk melakukan pemeriksaan terhadap para Pimpinan KPK, termasuk Firli Bahuri atas berbagai dugaan pelanggaran etik, " tegas Wana.