REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakil Ketua Fraksi Partai NasDem DPR RI, Willy Aditya, mendukung segera disahkannya RUU Perampasan Aset Tindak Pidana. Alasannya perampasan aset lebih bermanfaat daripada hukuman mati dan pemenjaraan sampai batas tertentu.
"Kejelasan dan ketegasan mutlak kita perlukan. Kami tentu sangat konsen dan mendukung RUU ini karena jauh lebih bermanfaat ketimbang hukuman mati dan pemenjaraan sampai batas tertentu," kata Willy, Kamis (25/1).
Menurut dia, F-NasDem mendukung UU yang tujuan akhirnya memberi keadilan dan kemanfaatan bagi masyarakat, salah satunya adalah RUU Perampasan Aset Tindak Pidana. Dia mengatakan ada dua isu penting dalam RUU tersebut, pertama perampasan aset tindak pidana yang melalui putusan inkracht ada yang "In Rem" atau tindakan negara mengambil alih aset berdasarkan putusan pengadilan.
"Kedua, tentang mekanisme pembuktian aset hasil/diduga berkaitan dengan kejahatan. Di samping itu juga soal kewenangan pelaksanaan perampasan," ujarnya. Willy menilai kedua poin tersebut harus jelas diatur secara tersurat dalam sebuah UU karena kejelasan dan ketegasan mutlak diperlukan.
Sebelumnya, Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), Dian Ediana Rae, meminta dukungan Komisi III DPR untuk mendukung pengesahan Rancangan Undang-Undang (RUU) Perampasan Aset Tindak Pidana dan RUU Pembatasan Transaksi Uang Kartal. Menurut dia, pemerintah sudah satu suara untuk mendukung kedua RUU tersebut sehingga perlu dukungan penuh legislatif agar segera dibahas dan disahkan menjadi UU.
"Kami harapkan dukungan Komisi III DPR dalam pengesahan RUU Perampasan Aset Tindak Pidana dan RUU Pembatasan Transaksi Uang Kartal. Pembahasan kedua RUU tersebut sudah purna di tingkat pemerintah," kata Dian Ediana dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Komisi III DPR, di Kompleks Parlemen, Jakarta, Rabu (24/3).
Dia menyakini kedua RUU tersebut bisa mengoptimalkan pengembalian uang negara dari tindak pidana korupsi, narkoba, perpajakan, kepabeanan, cukai, dan motif ekonomi lain. Menurut dia, tanpa kedua RUU tersebut, Indonesia memiliki kekosongan hukum yang sering digunakan dan dimanfaatkan para pelaku untuk menyembunyikan dan menyamarkan tindak pidana lalu dinikmati kembali ketika selesai menjalani masa hukuman.