Senin 01 Mar 2021 09:54 WIB

Artidjo Alkostar Sebuah Kitab Keadilan

Artidjo kitab keadilan Indonesia.

Presiden Jokowi takziah ke Masjid Ulil Albab UII, Senin (1/3), menyalati almarhum Artidjo Alkostar.   Foto: BPMI
Foto:

Beberapa preman berhasil dilindungi dan diselamatkannya -- tindakan yang bagi hampir semua rekan seprofesinya tak terbayangkan untuk mereka sendiri lakukan. Ia tak pernah menunjukkan sikap sebagai pengacara yang paling berani. Tapi siapapun yang mengenalnya cukup dekat tahu: ia selalu mampu mengatasi rasa takutnya.

Bahkan di masa yang genting dan mencekam itu, ia tak mengubah kebiasaannya: pergi ke mana pun dengan motor bebek dan tas kecil di pundak; bukan tanpa sadar bahwa ia selalu mungkin ditabrak oleh mobil besar “orang tak dikenal.” 

Pernah saya tanya: apakah ada pihak yang mengancamnya karena tidak menerima putusan-putusannya sebagai hakim? "Tidak ada," katanya. "Kalau sampai ada, saya akan balik mengancamnya dan saya akan kejar dia hingga tujuh turunan!" 

Sikap seperti itu bukan bentuk keberaniannya, tapi ekspresi keyakinan bahwa putusan apapun yang dibuatnya adalah atas dasar kebenaran hukum. Jika untuk itu ia harus menanggung harganya, ia tidak akan pernah segan untuk membayarnya. Dalam bentuk apapun. 

Ia membuka praktik pribadi seusai pensiun dari LBH dan setelah drama petrus berakhir. Citranya sebagai pengacara penentang aksi ekstralegal brutal itu terbentuk kuat, dan membuat calon klien menghindarinya. 

Beberapa kali saya mengunjungi kantornya, dan jadi mengerti bahwa ada alasan tambahan bagi klien untuk menghindarinya: satu-satunya yang menonjol di sana adalah timbunan koran tua, yang sebagian sampai menyundul plafon. Kondisi meja kerja dan ruang rapatnya jauh sekali dari kenormalan kantor sejenis. 

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement