Kamis 25 Feb 2021 19:02 WIB

Virtual Police Bawa Ketakutan Baru di Masyarakat?

Virtual Police sebaiknya hanya difokuskan pada pemberian peringatan.

 Virtual Police bentukan Polri bertugas mengedukasi konten yang tersebar bila berpotensi melanggar tindak pidana.
Foto: Republika/Prayogi
Virtual Police bentukan Polri bertugas mengedukasi konten yang tersebar bila berpotensi melanggar tindak pidana.

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Zainur Mahsir Ramadhan, Ali Mansur, Antara

Rencana kepolisian membentuk pengawas siber dalam bentuk Virtual Police menuai pro dan kontra. Wacana tersebut dikhawatirkan menimbulkan baru bagi masyarakat berekspresi di dunia maya.

Baca Juga

Direktur Eksekutif Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet) Damar Juniarto mengatakan, ada beberapa hal yang perlu dikritisi menyoal Virtual Police. Menurutnya, Virtual Police malah menghidupkan 'digital panopticon' atau Orwellian State yaitu situasi terus-menerus memantau apa yang dilakukan warga.

‘’Ini justru malah menimbulkan ketakutan baru, di mana polisi bisa hadir sewaktu-waktu di ruang privat (digital) warga. Tanpa kehadiran polisi langsung saja, warga sudah ngeri dengan ancaman UU ITE apalagi dengan cara yang seperti ini,’’ ujar dia kepada Republika, Kamis (25/2).

Dia menambahkan, Virtual Police juga berpotensi meniadakan ruang pembelaan. Hal itu, kata dia, justru mendahului proses peradilan. Sehingga hanya ada satu jawaban yang pasti, patuh atau dihukum.

Lebih jauh, Damar mengkritisi Virtual Police yang memberikan kapasitas Polri untuk masuk ke ranah privat warga. Dia semakin khawatir, apabila ke depannya percakapan warga bisa dikurasi oleh polisi dengan dalih menyehatkan ruang diskusi untuk menyampaikan isi pikiran.

‘’Maka Virtual Police perlu diperbaiki dalam pelaksanaannya. Harus mengedepankan edukasi, bukan hadir sebagai sosok yang mau menghukum kalau warga tidak patuh.’’ ungkap dia.

Menurut, mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK), Jimly Asshiddiqie, mengatakan, kebebasan di media sosial akibat disrupsi teknologi, sebaiknya memang dihadapi dengan teknologi. Dia juga menekankan, agar disrupsi tersebut tidak diiringi dengan hukum pidana.

‘’Cukup dengan memanfaatkan teknologi saja,’’ ujar Guru Besar Hukum Tata Negara UI.

Karena itu Virtual Police yang baru saja diresmikan untuk beroperasi, sebaiknya hanya difokuskan pada peringatan. Keberadaan ancaman pidana dalam UU ITE menyoal hal tersebut secara umum, ia sarankan bisa dievaluasi.

‘’Itu untuk dievaluasi manfaat dan mudaratnya,’’ tambah Ketua ICMI tersebut.

Jimly menilai, pemblokiran, penutupan akun, hingga blacklisting akan jauh berdampak positif pada iklim demokrasi. Khususnya, jika dibandingkan sanksi multitafsir yang kini ada di UU ITE.

Dia menegaskan, ada hal penting lain setelah peringatan sanksi final dikenakan dalam aktivitas di media sosial, yaitu blokir dan penutupan akun. Upaya itu, kata dia, bisa dilakukan oleh sistem yang dikendalikan negara.

photo
Sejumlah pasal di UU ITE yang disarankan direvisi (ilustrasi) - (republika)

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement