REPUBLIKA.CO.ID, oleh Haura Hafizhah, Rizky Suryarandika, Ali Mansur
Kamis dini hari seorang polisi yang diduga mabuk menembak sejumlah orang pengunjung kafe di kawasan Jakarta Barat. Penembakan yang dilakukan oleh petugas, Bripka CS, tersebut menewaskan tiga orang, salah satunya adalah anggota TNI AD.
Pengamat Kepolisian dari Institut for Security and Strategic Studies (ISeSS), Bambang Rukminto, menanggapi kasus penembakan yang dilakukan oleh Bripka CS. Menurutnya, hal ini terjadi karena Kapolri tidak mengecek kesehatan mental dan jasmani para anggotanya.
"Hal ini bisa terjadi lagi-lagi masalahnya adalah arogansi dan ketidakdisiplinan anggota. Selain itu, Kapolri harusnya memperhatikan kesehatan mental dan jasmani para anggotanya. Kalau tidak melakukan itu, artinya pimpinannya abai dan juga wajib dikenai sanksi," katanya saat dihubungi Republika, Kamis (25/2).
Kemudian, ia menjelaskan, anggota polisi yang diberikan rekomendasi membawa senjata api (senpi) tentunya harus melalui tes yang ketat, seperti kesehatan mental dan jasmani. Seorang anggota yang memiliki karakter labil tidak diperkenankan membawa senjata api.
Selain tes psikologi terkait mental, seorang anggota polisi yang diberikan kewenangan menggunakan senjata api juga harus mematuhi disiplin sesuai aturan-aturan di Polri. Tugas pimpinan dan pemberi rekomendasi penggunaan senpi adalah memastikan kalau anggotanya melakukan disiplin dan sehat mental maupun jasmaninya.
Dalam kasus penyalahgunaan senjata api, ia mengatakan, tidak cukup hanya mengevaluasi anggota. Atasan dan jajarannya juga harus ikut dievaluasi. Tujuannya, agar insiden serupa tidak terulang.
"Apakah pimpinannya sudah memastikan kalau anggota tersebut sehat mental maupun jasmaninya? Apalagi beban tugas seorang polisi di lapangan juga sangat berat. Ini yang berpotensi memengaruhi kondisi mental dan psikis anggota. Atau, jangan-jangan pimpinannya tidak melakukan kontrol tersebut karena ada pertimbangan-pertimbangan lain?" kata dia.
Ia menambahkan, hal ini harus dituntaskan secara transparan bukan hanya fokus pada oknum pelaku, tetapi evaluasi penuh satuan terkait. "Mengapa ini perlu dilakukan? Tentu saja untuk mengembalikan kepercayaan masyarakat kepada polisi. Membangun polisi yang humanis bukan jargon semata," kata dia.
Anggota Komisi I DPR RI Mayjen TNI (purn), TB Hasanuddin, menilai, bukan hanya Bripka CS yang salah. Aparat TNI yang tertembak hingga meninggal juga disebutnya memiliki porsi kesalahannya.
"Keduanya menyalahi aturan dan ketentuan yang berlaku, baik anggota Polisi maupun anggota TNI-nya," kata Hasanuddin dalam keterangannya kepada Republika.
Hasanuddin menilai, perbuatan oknum anggota Polri yang melakukan penembakan jauh dari nilai kemanusiaan. Walau begitu, ia juga menyindir korban anggota TNI yang tewas di tempat.
"Anggota polisi pemegang senjata dinas dalam keadaan mabuk menembak membabi buta merupakan perbuatan yang biadab. Tapi, anggota TNI juga ngapain ada di situ malam-malam di bar? Ini juga sangat disayangkan," ujar politikus PDIP tersebut.
Hasanuddin menekankan pentingnya evaluasi terhadap persoalan disiplin di kalangan TNI-Polri. Ia berharap, kasus penembakan ini menjadi pelajaran bagi dua institusi keamanan tersebut.
"Penggunaan senpi harus diawasi dengan ketat dan harus lulus tes psikologis, dilengkapi dengan surat tugas sesuai penugasan. Kemudian, anggota TNI juga seharusnya tak dibenarkan menjadi pengawal atau pengaman di bar-bar tempat hiburan," ucap Hasanuddin.
Hasanuddin meminta pengawasan bersama harus dilakukan TNI-Polri guna mencegah insiden serupa terulang. "Ini perlu pengawasan dan patroli rutin dari unsur Garnizun setempat. Secara umum baik TNI maupun Polri harus mulai membenahi disiplin anggotanya masing-masing," ucap Hasanuddin.