REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Tersangka suap perizinan tambak, usaha, dan atau pengelolaan perikanan atau komoditas perairan sejenis lainnya 2020, Edhy Prabowo mengaku siap dihukum mati. Dia menegaskan, siap bertanggung jawab dan tidak akan lari dari perkara yang saat ini menjeratnya itu.
"Jangankan dihukum mati, lebih dari itu pun saya siap yang penting demi masyarakat saya," kata Edhy Prabowo usai menjalani pemeriksaan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di Jakarta, Senin (22/2).
Edhy menegaskan, tidak akan menutupi kesalahan yang ada kalau memang hal tersebut terbukti. Dia mengaku tidak memiliki kesalahan dan bahkan siap menjalani persidangan terkait kasus suap yang melilitnya itu.
"Silakan proses peradilan berjalan, makanya saya lakukan ini. Saya tidak akan lari dan saya tidak bicara bahwa yang saya lakukan pasti benar, enggak," katanya.
Mantan wakil ketua partai Gerindra itu mengaku kerap mengingatkan anak buahnya untuk tidak melakukan korupsi. Dia mengatakan, kalau saat itu dirinya mengetahui peristiwa korupsi yang terjadi maka akan berusaha untuk menghentikan dan melarang perbuatan tersebut.
Edhy mengatakan, jika dirinya berniat melakukan korupsi maka hal itu akan bisa dia lakukan melalui pengeluaran izin kapal ikan. Dia mengungkapkan kalau dirinya telah menerbitkan 4.000 izin dalam waktu satu tahun menjabat sebagai menteri kelautan dan perikanan (KKP).
"Banyak peluang korupsi, Anda lihat izin kapal yang saya keluarkan ada 4.000 izin dlm waktu 1 tahun saya menjabat. Bandingkan yang tadinya izin sampai 14 hari saya bikin hanya 1 jam," katanya.
Seperti diketahui, KPK menetapkan Edhy Prabowo sebagai tersangka terkait penetapan perizinan ekspor benih lobster pada Rabu (25/11) malam. Edhy Prabowo diyakini menerima 100 ribu dolar AS ditambah Rp 3,4 miliar yang dipergunakan untuk belanja barang mewah di Hawaii.
KPK juga mentersangkakan Staf khusus Menteri KKP Safri (SAF), Pengurus PT ACK Siswadi (SWD), Staf Istri Menteri KKP Ainul Faqih (AF), Andreu Pribadi Misata (APM) dan Amiril Mukminin (AM) sebagai penerima. Mereka diduga telah menerima suap sebesar Rp 9,8 miliar dari Direktur PT Duta Putra Perkasa (DPP) Suharjito (SJT).
Sebelumnya, Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Wamenkumham) Edward Omar Sharif Hiariej yang biasa disapa Eddy Hiariej memberikan sinyal dukungan terhadap penerapan hukuman maksimal terhadap pelaku korupsi pada masa darurat. Eddy menilai, dua mantan menteri yang tersandung kasus pidana korupsi di tengah masa pandemi Covid-19 yakni mantan Menteri Kelautandan Perikanan, Edhy Prabowo dan mantan Menteri Sosial, Juliari P Batubara layak dituntut hukuman mati.
"Bagi saya mereka layak dituntut dengan ketentuan Pasal 2 Ayat 2 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) yang mana pemberatannya sampai pada pidana mati," kata Eddy dalam acara Seminar Nasional "Telaah Kritis terhadap Arah Pembentukan dan Penegakan Hukum di Masa Pandemi" yang berlangsung secara virtual, dipantau di Yogyakarta, Selasa (16/2).
Menurut Eddy, ada dua alasan pemberat yang membuat kedua mantan menteri tersangka tindak pidana korupsi itu layak dituntut pidana mati. Pertama, mereka melakukan tindak pidana korupsi saat dalam keadaan darurat, yakni darurat Covid-19 dan kedua, mereka melakukan kejahatan itu dalam jabatan.
"Jadi dua hal yang memberatkan itu sudah lebih dari cukup untuk diancam dengan Pasal 2 Ayat 2 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi," kata Eddy Hiariej.