REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Staf Ahli Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemkominfo) Henri Subiakto mengatakan, Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) lahir karena semangat demokrasi antara DPR dan pemerintah. Tujuannya, memberikan payung hukum terhadap aktivitas elektronik di internet, bersamaan dengan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (KIP).
"UU yang dilahirkan dari semangat demokrasi di parlemen dan pemerintah saat itu, dibidani Komisi I DPR dan Kominfo. Kedua UU dilahirkan hampir bersamaan dari lembaga yang sama, kecil kemungkinan memiliki sifat bertentangan," ujar Henri dalam sebuah diskusi daring, Kamis (18/2).
Henri menjelaskan, UU KIP dikenal sebagai undang-undang yang bertujuan memperkuat demokrasi. Sedangkan UU ITE yang diundangkan setelah itu, juga memiliki semangat yang sama dalam melindungi hak warga negara.
"UU ITE tujuan awal menjaga ruang digital agar bersih, sehat, dan beretika. Serta dimanfaatkan secara produktif," ucapnya.
Henri melanjutkan, UU ITE pada dasarnya melarang dua jenis perbuatan pidana. Pertama, larangan berbuat jahat dengan menggunakan informasi teknologi (IT), seperti perjudian, terorisme, penipuan kartu kredit, pornografi, pemerasan, dan pencemaran nama baik.
"Kedua, larangan berbuat jahat dengan sasaran IT, seperti peretasan, penyebaran kode jahat, robot Internet, pencurian identitas, dan lain-lain," ujar Henri.
Diketahui, pembahasan UU ITE dimulai pada 2005 hingga 2007, sebelum disahkan di era pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pada 2008. Undang-undang tersebut pada dasarnya dibagi jadi beberapa bagian.
Pertama, terkait e-commerce, yang mengatur perkara marketplace. Bagian lain UU ITE mengatur soal tindak pidana teknologi informasi, dengan sub-bagian yang dimulai dari konten ilegal, unggahan bernuansa SARA, kebencian, hoaks, penipuan, pornografi, judi, hingga pencemaran nama baik.
Dalam subbagian lainnya, diatur perihal akses ilegal, seperti hacking, penyadapan, serta gangguan, atau perusakan sistem secara ilegal. Bagian inilah yang kerap jadi masalah.
UU ITE telah mengalami satu kali revisi pada Agustus 2016 di era Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara. Dari 54 pasal ada tujuh ketentuan yang direvisi. Di antaranya penegasan soal delik pencemaran nama baik adalah delik aduan. Pada ketentuan sebelumnya merupakan delik umum.