REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), Jakarta Pusat, menjadwalkan sidang putusan atau vonis kasus suap pengurusan pengajuan fatwa Mahkamah Agung (MA) untuk membebaskan Djoko Tjandra dengan terdakwa Pinangki Sirna Malasari pada, Senin (8/2) hari ini. Indonesia Corruption Watch (ICW) mendesak Majelis Hakim pada Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta menjatuhkan vonis maksimal, yakni 20 tahun penjara kepada terdakwa Pinangki Sirna Malasari.
"Jika hakim menjatuhkan vonis ringan atau sekadar mengikuti tuntutan jaksa maka dapat dikatakan institusi kekuasaan kehakiman tidak serius dalam mendukung upaya pemberantasan korupsi. Selain itu, hal tersebut juga akan berimbas pada penurunan kepercayaan publik pada pengadilan," kata Peneliti ICW Kurnia Ramadhana dalam keterangannya, Senin (8/2).
Menurut Kurnia, ada lima alasan yang mendasari argumentasi bahwa Pinangki harus diganjar dengan hukuman maksimal. Pertama, Pinangki Sirna Malasari merupakan penegak hukum yang harusnya meringkus Djoko Tjandra, namun yang terjadi justru sebaliknya, Pinangki justru mencari cara agar Djoko terbebas dari jerat hukum.
Kedua, lanjut Kurnia, Pinangki diduga melakukan tiga tindak pidana sekaligus, mulai dari penerimaan suap, pemufakatan jahat, dan pencucian uang. Ketiga, tindakan Pinangki telah meruntuhkan kepercayaan masyarakat terhadap penegakan hukum.
Keempat, salah dua kejahatan Pinangki, yakni dugaan penerimaan suap dan pemufakatan jahat dilakukan dalam konteks penegakan hukum, yakni permohonan fatwa ke Mahkamah Agung. Tindakan ini mestinya dipandang serius karena telah mencederai makna penegakan hukum itu sendiri.
"Kelima, berdasarkan pengamatan ICW, Pinangki tidak kooperatif selama masa persidangan. Hal ini dibuktikan dari bantahan terdakwa yang menyebutkan tidak pernah mendapatkan sejumlah uang dari Djoko, menyusun action plan, dan memberikan 50 ribu dolar AS ke Anita Kolopaking," ucap Kurnia.