REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Kehadiran partai politik (parpol) baru kerap mewarnai perhelatan pemilu. Banyak parpol baru sulit untuk bertahan lama. Sebagian ada juga yang menuai hasil bagus dan mampu eksis bahkan semakin berjaya hingga saat ini.
Untuk bersaing di Pemilihan Legislatif (Pileg) 2024 mendatang sangat lah sulit. Menurut cendekiawan Muslim Prof Azyumardi Azra, sekali pun partai tersebut memiliki pendanaan yang cukup maupun pendirinya pernah menduduki jabatan petinggi negara ini.
Azyumardi menyarankan para pendiri partai baru untuk mencari cara lain untuk memperoleh suara bago partainya. Hal itu karena partai yang kuat keuangannya tidak ada jaminan masuk parlemen.
"Misalnya Perindo, walau didukung keuangan dan media yang kuat, tetap saja tidak bisa masuk. Jadi Partai Pak Mahfudz (Partai Gelora) walau didukung kekuatan uang sekalipun tidak akan memberikan jaminan,” kata Azra dalam Moya Discussion Group bertajuk 'Parpol Baru dan Dinamika Politik Nasional' di Jakarta secara daring, Kamis (4/2).
Turut menjadi pembicara diskusi, yaitu diplomat senior Prof Imron Cotan, Rektor Universitas Islam Internasional Indonesia (UIII) Prof Komaruddin Hidayat, Sekjen Partai Gelombang Rakyat (Gelora Indonesia) Mahfudz Siddiq dan pemantik diskusi dari Lembaga Hubungan dan Kerja Sama Internasional (LHKI) yang juga Pengurus PP Muhammadiyah Hery Sucipto. Seri webinar ini dimoderatori Nurfajri Budi Nugroho selaku prneliti senior Moya Institute.
Azyumardi menyoroti dua partai yang bisa meraih suara signifikan, yakni Gerindra yang berdiri pada 2008 dan Nasdem berdiri pada 2011. Gerindra meraih 12,57 persen, dan Nasdem meraup 9,05 persen suara pada Pemilu 2019.
Dia pun berpesan kepada keempat partai yang baru didirikan pafa 2020, untuk mempunyai strategi khusus jika ingin bersaing dengan partai lainnya yang lebih senior. "Partai harus reorientasi kepentingan rakyat. Kembali kepada rakyat, tidak hanya mementingkan kepentingan politik mereka sendiri, kepentingan kekuasaan tanpa mementingkan rakyat sama sekali,” ujarnya.
Prof Komaruddin Hidayat berharap panggung politik, persaingan kompetisi antar parpol ibarat sepak bola. “Tunjukkan permainan yang indah, cerdas, penuh etika, sehingga menarik untuk ditonton dan diikuti. Jangan menyebalkan,” katanya.
Prof Imron Cotan menyampaikan harapannya kepada parpol baru untuk mencoba memberikan alternatif baru. “Apakah tawaran dari Partai Gelora misalnya, untuk mensinergikan agenda keummatan dan kebangsaan bisa menarik perhatian calon pemilih, itu kita lihat nanti. Kemudian, perbedaan spectrum politik, tidak harus meninggalkan prinsip kebangsaan kita: Satu Bangsa, Satu tanah Air dan Satu Bahasa yaitu Indonesia,” ucapnya.
Sekjen Partai Gelora, Mahfudz Siddiq, mengakui partainya memiliki strategi tersendiri agar dilirik dalam Pemilu 2024. Menurut dia, parpol harus berhenti menjadi partai yang mengobral janji demi menggalang suara. Saat ini, Partai Gelora sudah terbentuk di 34 provinsi, serta ada di 511 kabupaten/kota.
“Parpol harus betul-betul menjalankan semua fungsi sebagai partai politik. Terutama pendidikan politik dan advokasi atau agregasi kepentingan politik masyarakat. Kalau ini dilakukan, Insya Allah, masyarakat akan punya preferensi baru tentang partai politik,” ungkapnya.
Direktur Eksekutif Moya Institute, Hery Sucipto, menilai kehadiran parpol baru menjadi menarik, meskipun Pilpres 2024 masih tiga tahun lebih. Dia melihat partai-partai baru sudah mulai ancang-ancang.
"Pilpres 2024 tidak ada incumbent. Selain itu, mengapa masih ada yang berani mendirikan partai baru di tengah panceklik politik saat ini yang kita tahu semua penuh ketidakpastian, antara lain masih banyaknya korupsi, instabilitas politik dan ekonomi,” ujarnya.