REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Gempa bumi yang terjadi di Majene sejak Kamis (14/1) hingga Jumat (15/1) dini hari terjadi berdekatan dengan sumber gempa yang memicu tsunami pada 1969 silam. Menurut Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), gempa pada 23 Februari 1969 tersebut berkekuatan 6,9 skala richter pada kedalaman 13 kilometer.
"Mengingat pesisir Majene pernah terjadi tsunami pada 1969, masyarakat yang bermukim di wilayah Pesisir Majene perlu waspada jika merasakan gempa kuat agar segera menjauh dari pantai tanpa menunggu peringatan dini tsunami dari BMKG," ujar Koordinator Mitigasi Gempabumi dan Tsunami BMKG Daryono dalam konferensi pers virtual, Jumat (15/1).
Daryono menjelaskan, gempa saat itu menyebabkan 64 orang meninggal, 97 orang luka-luka, dan 1.287 rumah serta masjid mengalami kerusakan. Dermaga pelabuhan pecah, timbul tsunami dengan ketinggian empat meter di Pelattoang dan 1,5 meter di Parasanga dan Palili.
Dengan kembalinya terjadi gempa kuat di Majene dini hari tadi, maka gempa yang terjadi pada hari Kamis (14/1) pukul 13.35.49 WIB kemarin statusnya menjadi gempa pendahuluan/pembuka (foreshock). Untuk sementara, gempa yang terjadi pada pagi dini hari tadi statusnya sebagai gempa utama (mainshocks).
"Semoga status ini tidak berubah dan justru akan meluruh, melemah hanya terjadi gempa susulan (aftershocks) dengan kekuatan yang terus mengecil dan kembali stabil," kata Daryono.
Kepala BMKG Dwikorita menambahkan ada potensi munculnya gempa di lempeng tektonik lainnya yang terpicu oleh lempeng tektonik yang terjadi di Majene. "Ada kemungkinan, kami masih tetap memantau dan mengimbau untuk antisipasi terjadinya pergerakan di patahan lain," ujarnya.