REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Indonesia Corruption Watch (ICW) berharap agar Presiden Joko Widodo (Jokowi) dapat memanfaatkan lembaga pengawas, seperti KPK, PPATK dan Direktorat Jenderal Pajak untuk melihat rekam jejak calon Kapolri. Dilibatkannya lembaga pengawas guna melihat dugaan adanya aliran transaksi tidak wajar dan kepatuhan pembayaran pajak sebelum mengirimkan nama calon Kapolri ke DPR.
"Semestinya Presiden juga dapat membuka kanal untuk masukan masyarakat terhadap nama-nama kandindat yang dikirimkan Kompolnas. Nantinya masukan masyarakat tersebut dapat dijadikan salah satu pertimbangan bagi Presiden," kata peneliti ICW, Kurnia Ramadhana dalam pesan singkatnya, Selasa (12/1).
ICW menilai dilibatkannya lembaga pengawas sangatlah penting agar proses seleksi calon Kapolri dapat ditempuh secara transparan, akuntabel, dan partisipatif. Selain itu, Presiden juga seharusnya memasukkan variabel kepatuhan LHKPN sebagai syarat untuk dapat menjadi Kapolri.
Tidak hanya patuh, lanjut Kurnia, para calon juga harus benar dan jujur saat menuliskan harta kekayaan. Sebab ICW meyakini kepatuhan, kebenaran dan kejujuran saat pelaporan LHKPN menjadi indikator utama untuk melihat integritas dari setiap kandindat pejabat publik, terlebih Kapolri.
Kurnia menambahkan, ICW juga mengusulkan, Presiden untuk meminta agar lima kandidat Kapolri yang dikirimkan oleh Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) dapat memaparkan terlebih dahulu agenda reformasi Kepolisian kepada publik. Hal tersebut agar
nantinya publik dapat melihat sejauh mana kompetensi dari para kandidat.
Pekan lalu, Kompolnas sudah menyerahkan lima nama calon Kapolri ke Presiden Joko Widodo. Mereka ialah Wakapolri Komjen Polisi Gatot Eddy Pramono, Kepala BNPT Komjen Polisi Boy Rafli Ammar, Kabareskrim Komjen Polisi Listyo Sigit Prabowo, Kalemdiklat Komjen Polisi Arief Sulistyanto, dan Kabaharkam Komjen Polisi Agus Andrianto.