REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kapolri Jenderal Polisi Idham Azis baru-baru ini mengeluarkan Maklumat terkait pelarangan aktivitas Front Pembela Islam (FPI). Pakar Hukum Universitas Al-Azhar Indonesia, Suparji Ahmad menegaskan, bahwa pers bekerja berdasarkan undang-undang.
"Ya memang secara formal, baik berdasarkan UU Nomor 12 Tahun 2011 maupun UU Nomor 15 Tahun 2019 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, tidak mencantumkan Maklumat sebagai sumber hukum," kata Suparji saat ditanya Republika, Sabtu (2/1).
Artinya, kata Suparji, Maklumat Kapolri tersebut tak mengikat sebagaimana halnya undang-undang dan turunnya, tapi mengikat bagi masyarakat. Suparji menegaskan, pers dalam bekerja diatur dalam Undang-undang Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers bukan maklumat.
"Jadi itu (UU No 40/1998) yang menjadi dasar hukum oleh insan media," tuturnya.
Selain itu, ia menegaskan bahwa pers merupakan pilar demokrasi. Maka, keberadaannya haruslah dihargai. Namun, Suparji tetap menekankan bahwa narasi yang dibawa pers harus inspiratif.
"Pers penjaga demokrasi, keberadaanya dan kerjanya harus dilindungi. Pers juga harus membawa narasi inspiratif, tidak menyebarkan berita bohong dan provokatif," tuturnya.
Selain itu, Suparji juga menekankan bahwa sebuah Maklumat Kapolri hendaknya proporsional dengan memperhatikan regulasi yang berlaku. Jangan sampai maklumat justru mendgradasi Hak Asasi Manusia dan demokrasi.
"Khususnya dalam menyampaikan maupun memperoleh informasi," katanya Suparji.