REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kuasa hukum mantan komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) Wahyu Setiawan, Tony Akbar Hasibuan, mengapresiasi putusan Majelis Hakim Pengadilan Tinggi DKI Jakarta. Putusan tingkat banding menguatkan putusan Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang menjatuhkan vonis enam tahun penjara bagi Wahyu.
Apresiasi itu karena Pengadilan Tinggi DKI tidak mencabut hak politik Wahyu Setiawan. "Kami mengapresiasi hakim tinggi telah mengutip dalil hukum kontra memori banding kami dalam pertimbangan hukumnya," kata Tony Akbar Hasibuan kepada Republika.co.id, Rabu (9/12).
''Di mana pak Wahyu sebagai penyelenggara pemilu dan tidak aktif pada lembaga politik, dan pak Wahyu juga telah berjasa dalam menyelenggarakan pemilu 2019 dengan sukses," kata Tony.
Dalam putusan tingkat banding, majelis hakim tidak mencabut hak politik Wahyu seperti yang diminta oleh Jaksa KPK. Sebab, hakim menilai Wahyu tidak berkarier dalam dunia politik.
Selain itu, putusan pidana pokok tersebut sudah menipiskan harapan Wahyu untuk memperoleh kedudukan yang lebih tinggi. "Bahwa terdapat alasan untuk menghargai hak asasi manusia terhadap terdakwa Wahyu Setiawan telah bekerja di KPU dengan mensukseskan Pemilu 2019," seperti dikutip dari poin pertimbangan.
Adapun, majelis hakim yang memutus permohonan banding tersebut adalah Muhammad Yusuf sebagai hakim ketua majelis serta Sri Andini, Haryono, Jeldi Ramadhan, dan Lafat Akbar selaku hakim anggota. Putusan banding dibacakan pada Senin (7/12) dan tercatat pada nomor putusan 37/PID.TPK/2020/PT DKI.
Sebalumnya, KPK mengajukan banding atas vonis terhadap Wahyu Setiawan yang dijatuhkan oleh majelis hakim Pengadilan Tipikor pada PN Jakarta Pusat dengan vonis 6 tahun penjara dan denda Rp 150 juta sibsider 4 bulan kurungan. Jaksa KPK Takdir Suhan mengatakan, salah satu pertimbangan KPK mengajukan banding karena Wahyu tidak dijatuhi hukuman tambahan berupa pencabutan hak untuk dipilih dalam jabatan publik.