Senin 30 Nov 2020 17:34 WIB

Sekretaris Ungkap Rangkaian Penyiapan Dana Djoko Tjandra

Sekretaris Djoko Tjandra mengakui beberapa kali menyiapkan sejumlah uang pada 2020.

Rep: Dian Fath Risalah/ Red: Andri Saubani
Terdakwa kasus dugaan suap penghapusan red notice Djoko Tjandra, Irjen Pol Napoleon Bonaparte (kedua kiri) menjalani sidang lanjutan,  di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Senin (30/11/2020). Sidang mantan Kepala Divisi Hubungan Internasional Polri itu beragendakan pemeriksaan saksi.
Foto: ANTARA/Sigid Kurniawan
Terdakwa kasus dugaan suap penghapusan red notice Djoko Tjandra, Irjen Pol Napoleon Bonaparte (kedua kiri) menjalani sidang lanjutan, di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Senin (30/11/2020). Sidang mantan Kepala Divisi Hubungan Internasional Polri itu beragendakan pemeriksaan saksi.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sekretaris Djoko Tjandra, Nurmawan Fransisca mengaku pernah beberapa kali diminta Djoko Tjandra untuk menyiapkan sejumlah uang sepanjang 2020. Namun, ia mengaku tidak tahu bahwa uang itu disiapkan untuk keperluan penghapusan red notice Djoko Tjandra.

Hal tersebut diungkap Fransisca saat menjadi saksi dalam sidang lanjutan kasus suap pengurusan red notice dengan terdakwa Irjen Napoleon Bonaparte di Pengadilan Tipikor Jakarta, Senin (30/11). Awalnya, Jaksa Wartono menanyakan apakah Fransisca pernah diminta memberikan uang pada 2020 terkait penghapusan red notice.

Baca Juga

"Pak Djoko ada perintah untuk memberikan dana. Tapi, pada saat itu saya tidak tahu untuk kepentingan apa. Setelah kasus ini terbuka, saya baru tahu. Jadi tanggal 27 April 2020, Pak Djoko minta disiapkan 100 ribu dolar AS. Perintah itu tolong disampaikan pada Nurdin, melalui telepon," ujar Fransisca

"Dapat uangnya," tanya Jaksa Wartono.

"Memang kami ada stok, uangnya ada di brankas, " jawab Frasisca. 

Fransisca melanjutkan, saat itu Djoko Tjandra meminta dirinya menyiapkan uang untuk kemudian diberikan kepada Nurdin, karyawan Djoko Tjandra.

"Uang itu diberikan ke Nurdin?" cecar Jaksa lagi.

 

"Iya, pada hari itu juga. Saat itu, Pak Djoko minta siapkan dana untuk kasih ke Nurdin. Pak Djoko juga sebut nama Pak Tommy," ujar dia.

Tommy yang dimaksud adalah Tommy Sumardi yang juga berstatus  terdakwa dalam perkara ini. Tommy didakwa menjadi perantara suap dari Djoko Tjandra ke Napoleon dan Brigjen Prasetijo Utomo.

"Ada pemberian uang lain?" tanya Jaksa Wartono lagi.

Menjawab pertanyaan jaksa, Fransisca membenarkan hal tersebut. Ia kembali diminta menyiapkan uang oleh  Djoko Tjandra pada 28 April 2020 dan 29 April 2020. Pada, 28 April 2020, Djoko Tjandra memintanya memberikan 200 ribu dolar Singapura kepada Tommy.

Kemudian pada 29 April 2020 dirinya diminta Djoko Tjandra menyiapkan 100 ribu dolar AS. Saat itu, dia mengaku memberikan uang itu kepada Nurdin yang kemudian oleh Nurdin diberikan kepada Tommy.

Pada 4 Mei 2020, 13 Mei 2020 dan 22 Mei 2020 juga dirinya diminta menyiapkan 150 ribu dollar AS, 100 ribu dollar AS dan 50 ribu dolar AS. Uang itu diberikan ke Nurdin kemudian ke Tommy Sumardi.

Jaksa kemudian menanyakan apakah Fransisca mengetahui kepentingan atas sejumlah uang yang dikeluarkan Djoko Tjandra. Dalam kesaksiannya, Fransisca mengaku hanya menuruti perintah Djoko Tjandra sebagai atasannya. Dia tidak mengetahui untuk apa uang tersebut diberikan kepada Nurdin dan Tommy.

"Saya tidak tahu uang itu disampaikan ke mana. Saya cuma dapat perintah untuk siapkan uang lalu kasih ke Nurdin. Sisanya Pak Djoko hubungi Nurdin. Waktu itu dia (Nurdin) sebut restoran Merah Delima," katanya.

Dalam perkara ini, Mantan Kepala Divisi Hubungan Internasional (Kadiv Hubinter) Polri, Irjen Napoleon Bonaparte didakwa menerima uang 200 ribu dolar Singapura dan 270 ribu dollar AS dari Joko Soegiarto Tjandra alias Djoko Tjandra. Suap diberikan agar Napoloen bersama Brigjen Pol Prasetijo Utomo menghapus nama Djoko Tjandra dari Daftar Pencarian Orang (DPO) yang dicatatkan di Direktorat Jenderal Imigrasi.

Dalam dakwaan disebutkan, saat itu Napoleon menjabat sebagai Kepala Divisi Hubungan Internasional (Kadivhubinter) Polri, Djoko Tjandra meminta bantuan lantaran namanya sudah masuk dalam DPO sejak 2009 dalam perkara pengalihan hak tagih (cessie) Bank Bali. Napoloen disebut melakukan penghapusan nama tersebut bersama-sama dengan Brigjen Prasetijo yang merupakan Kepala Biro Koordinator Pengawas (Karo Korwas) PPNS Bareskrim Polri.

Kepada Prasetijo, Napoleon memerintahkan penerbitan surat yang ditujukan kepada Direktorat Jenderal Imigrasi untuk menghapus nama Djoko Tjandra dari Enhanced Cekal System (ECS) pada Sistem Informasi Keimigrasian (SIMKIM) Direktorat Jenderal Imigrasi.

Suap berawal ketika Djoko Tjandra yang sedang berada di Malaysia ingin mengajukan upaya hukum Peninjauan Kembali (PK) demi bebas dari semua jeratan hukum. Namun persyaratan PK mengharuskan Djoko Tjandra datang langsung ke Indonesia, sementara saat itu Djoko Tjandra masih menjadi buron.

Jaksa menyebut perbuatan Napoeon yang membantu Djoko Tjandra bertentangan dengan kewajibannya sebagai Polisi yang seharusnya melakukan penangkapan terhadap Djoko Tjandra jika masuk ke Indonesia. "Terdakwa seharusnya menjaga informasi Interpol hanya untuk kepentingan Kepolisian dan penegakan hukum serta bertentangan pula dengan kewajibannya untuk tidak menerima pemberian berupa hadiah dan/atau janji, " ujar Jaksa.

Napoleon didakwa melanggar Pasal 5 ayat 2 juncto Pasal 5 ayat 1 huruf a atau b Undang-Undang (UU) Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (selanjutnya disebut UU Tipikor) juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP dan/atau Pasal 11 atau Pasal 12 huruf a atau b UU Tipikor juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.

photo
Djoko Tjandra - (Republika)

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement