Ahad 29 Nov 2020 19:56 WIB

Kemenkumham Pastikan Permohonan Calling Visa Diawasi Ketat

Kemenkumham memastikan hingga kini tidak ada pengajuan calling visa dari WN Israel.

Visa elektronik untuk orang asing subyek Calling Visa. (Ilustrasi)
Foto: Pxfuel
Visa elektronik untuk orang asing subyek Calling Visa. (Ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) memastikan bahwa pelayanan permohonan visa elektronik (e-Visa) bagi orang asing subyek Calling Visa akan diawasi dengan ketat. Kepala Biro Humas Hukum dan Kerjasama Kemenkumham Heni Susila Wardoyo menambahkan, hingga saat ini, tidak ada pengajuan eVisa dari warga negara Israel.

Heni mengatakan, dalam pernyataan tertulis yang diterima di Jakarta pada Ahad (29/11), proses pemeriksaan permohonan eVisa bagi warga negara subjek Calling Visa dilakukan tidak hanya melibatkan tim penilai dari Kemenkumham saja, melainkan juga Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Luar Negeri, Kementerian Ketenagakerjaan, Kepolisian Republik Indonesia, Kejaksaan Agung, Badan Intelijen Negara, Badan Intelijen Strategis Tentara Nasional Indonesia, dan Badan Narkotika Nasional.

Baca Juga

"Tim akan rapat koordinasi untuk menilai apakah seseorang layak atau tidak untuk diberikan visa, jadi pemberian visa kepada warga negara dari subjek Calling Visa sangat teliti dan ketat, serta sangat mungkin untuk dilakukan penolakan" ujar Heni.

Ia menambahkan pelayanan eVisa untuk negara subjek Calling Visa itu sudah berlaku sejak lama, yaitu tahun 2012, dan diperuntukkan hanya untuk warga negara tertentu.

Layanan itu diberlakukan dengan persyaratan ketat karena diperuntukkan bagi warga negara yang dinilai memiliki tingkat kerawanan tertentu.

"Negara Calling Visa adalah negara yang kondisi atau keadaan negaranya dinilai mempunyai tingkat kerawanan tertentu ditinjau dari aspek ideologi, politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan dan keamanan negara, dan aspek keimigrasian, " kata Heni.

Ketentuan terkait negara Calling Visa, menurut Heni, pertama kali dituangkan dalam Keputusan Menteri Hukum dan HAM tahun 2012, dimana dalam keputusan tersebut, terdapat sebelas negara yang masuk dalam daftar negara calling visa, termasuk Israel.

“Dalam Kepmen Tahun 2012, ada sebelas negara yang masuk dalam daftar negara Calling Visa, termasuk di dalamnya adalah Israel. Jadi ini sudah berlaku sejak tahun 2012. Kemudian pada tahun 2013, salah satu negara, yaitu Irak, dihapus dari daftar negara Calling Visa, menjadi negara dengan visa biasa,” kata Heni.

Heni menjelaskan dihapuskannya Irak dari daftar negara Calling Visa karena saat itu terjadi peningkatan kerjasama dan hubungan yang lebih menguntungkan antara Indonesia dan Irak. Sementara negara-negara lain dinilai masih rawan.

Karena tingkat kerawanan tersebut, negara Calling Visa menjadi klaster terakhir yang diberikan relaksasi permohonan visa setelah pembatasan orang asing masuk wilayah Indonesia.

Alasan utama dibukanya kembali pelayanan Calling Visa adalah mengakomodasi hak-hak kemanusiaan para pasangan kawin campur, baru kemudian untuk tujuan investasi, bisnis, dan bekerja.

Pemerintah telah menetapkan ketentuan pemberian visa bagi negara yang termasuk dalam subjek negara Calling Visa adalah: Afghanistan, Guinea, Israel, Korea Utara, Kamerun, Liberia, Nigeria, dan Somalia.

Ketentuan itu merujuk pada Peraturan Menteri Hukum dan HAM Nomor M.HH-01.GR.01.06 Tahun 2012 tentang Tata Cara Penetapan Negara Calling Visa dan Pemberian Visa Bagi Warga Negara dari Negara Calling Visa (Berita Negara No. 301, 2012).

Peraturan tersebut kemudian ditindaklanjuti dengan Keputusan Menteri Hukum dan HAM RI Nomor M.HH-02.GR.01.06 Tahun 2018 tentang Perubahan Ketiga atas Keputusan Menteri Hukum dan HAM Nomor M.HH-03.GR.01.06 Tahun 2012 tentang Negara Calling Visa, yang menetapkan menghapus negara Niger sehingga menjadi delapan negara Calling Visa.

Uji coba pembukaan kembali pelayanan eVisa bagi orang asing subyek Calling Visa, dimulai pada 23 November 2020. Hingga 28 November 2020, permohonan yang masuk melalui website www.visa-online.imigrasi.go.id mayoritas adalah permohonan visa onshore, yaitu permohonan visa yang diajukan oleh penjamin bagi orang asing yang terlantar (stranded) di Indonesia dan tidak dapat kembali ke negaranya karena dampak pandemi Covid-19.

“Sampai sekarang permohonan yang masuk sebanyak 17 permohonan dan 12 di antaranya adalah visa onshore, yaitu visa bagi mereka yang sudah berada di Indonesia dan stranded tidak dapat kembali ke negaranya karena imbas Covid-19. Mereka ini harus difasilitasi visa untuk memperpanjang izin tinggalnya, sesuai Permenkumham 26 Tahun 2020,” ujarnya.

Selain itu, ada lima permohonan berupa visa offshore, yaitu visa yang diajukan oleh penjamin bagi orang asing yang berada di luar negeri, yaitu dari negara Afghanistan untuk penyatuan keluarga dan Nigeria yang mengajukan permohonan sebagai investor.

 

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement