Rabu 25 Nov 2020 21:48 WIB

Anita Kolopaking Sebut Seangkatan dengan Mantan Ketua MA

Anita mengaku pernah menanyakan ke MA terkait kemungkinan mengajukan fatwa.

Tersangka kasus dugaan pembuatan dokumen perjalanan palsu yang juga mantan kuasa hukum Djoko Tjandra, Anita Kolopaking.
Foto: GALIH PRADIPTA/ANTARA
Tersangka kasus dugaan pembuatan dokumen perjalanan palsu yang juga mantan kuasa hukum Djoko Tjandra, Anita Kolopaking.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Penasihat hukum Djoko Tjandra, Anita Kolopaking, menyebut dirinya memang satu angkatan dengan Ketua Mahkamah Agung (MA) periode Maret 2012-April 2020 Hatta Ali saat menjalani pendidikan doktor hukum di Universitas Padjadjaran. Anita mengungkapkan itu pada persidangan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta.

"Dari MA yang S3 di Unpad seangkatan ibu siapa saja?" tanya anggota majelis hakim Agus Salim di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Rabu (25/11).

Baca Juga

"Ada Pak Hatta Ali," jawab Anita.

Anita menjadi saksi untuk terdakwa mantan Kepala Sub Bagian Pemantauan dan Evaluasi II Biro Perencanaan Jaksa Agung Muda Pembinaan Kejaksaan Agung Pinangki Sirna Malasari. "Apakah seangkatan dengan terdakwa juga?" tanya hakim Agus Salim dan langsung dijawab Anita, tidak karena dirinya lebih dulu.

Hakim Agus Salim terus mencecar pertanyaan siapa lagi temannya yang berasal dari MA. "Pak Hatta Ali, tapi yang angkatan di bawah saya juga ada," jawab Anita.

Hakim terus mengejar siapa saja, dan Anita menyebut ada Hakim Agung Andi Samsan namun angkatan lain. "Hampir semua ada dari MA. Saya lupa nama-namanya, ketua kamar pidiana siapa namanya, itu sama-sama kami, lupa namanya," jawab Anita.

Dalam surat dakwaan disebutkan "action plan" tersebut berisi rencana tindakan dan biaya mengurus fatwa MA itu dengan biaya sebesar 10 juta dolar AS yang terdiri dari 10 tahap dan mencantumkan inisial "BR" selaku Jaksa Agung ST Burhanuddin dan "HA" selaku Ketua MA periode Maret 2012-April 2020 Hatta Ali.

Andi Samsan Nganro adalah ketua muda MA bidang Pengawasan sekaligus juru bicara MA. "Ada tidak menanyakan status Djoko Tjandra ke MA?" tanya hakim Agus Salim.

"Tidak, tapi saya menyurati MA untuk permohonan diterimanya PK Pak Djoko tapi tidak dijawab," jawab Anita.

"Ditujukan ke siapa?" tanya hakim Agus Salim.

"Waktu itu ditujukan saat Pak Hatta Ali masih menjabat. Saya minta untuk bisa 'conference call' sebagai 'lawyer' Djoko Tjandra dengan mengirim surat ke pengadilan negeri dan ke MA juga tapi gak direspon," jawab Anita.

Anita juga mengaku pernah menanyakan ke MA terkait kemungkinan mengajukan fatwa ke MA. "Terus terang karena waktu itu lagi kumpul-kumpul saya tanya bikin fatwa boleh tidak? Mengenai apa? Ini kalau ada kejaksaan minta bisa eksekusi putusan. Lalu dijawab orang MA urusan eksekusi kan bukan urusan kita itukan di kejaksaan artinya eksekutornya jaksa jadi tidak usah pake fatwa, lalu saya sampaikan ke Mbak Pinangki kemudian Andi Irfan dan Pinangki katakan OK," ungkap Anita.

Dalam perkara ini, jaksa Pinangki didakwa dengan tiga dakwaan yaitu pertama dakwaan penerimaan suap sebesar 500 ribu dolar AS (sekitar Rp7,4 miliar) dari terpidana kasus cessie Bank Bali Joko Soegiarto Tjandra. Kedua, dakwaan pencucian uang yang berasal dari penerimaan suap sebesar 444.900 dolar atau sekitar Rp 6.219.380.900 sebagai uang pemberian Joko Tjandra untuk pengurusan fatwa ke MA.

Ketiga, Pinangki didakwa melakukan pemufakatan jahat bersama dengan Andi Irfan Jaya dan Joko Tjandra untuk menyuap pejabat di Kejagung dan MA senilai 10 juta dolar AS.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement